Pages

Ads 468x60px

Labels

Senin, 27 Agustus 2012

Kumpulan 100 Puisi Terbaik


Juara I
WAJAH NEGERIKU
Karya : S. Retno Indaryanti (Lie Phan)

Aku membuka mata kecilku
Gelap dan dingin, emak masih mendekap aku
‘aku mau main, mak!’
“tidak bisa Nak, langit sedang marah’.

Aku membuka mata kecilku besoknya
Gelap dan lebih dingin dan sangat pengap
‘aku ingin main, Mak!’ aku berbisik menggema
‘Nak, kita tidak lagi bisa keluar rumah’

Emakku mencari mulut kecilku, memberikan susunya
Aku mulai merasa hangat, ‘Emak takut?’ bisikku
‘Emak tidak ada waktu untuk ketakutan, Nak
Emak sibuk meminta ampun’

Kepala kecilku berdengung oleh suara Emak
‘kenapa lama sekali emak meminta ampun?’
‘Nak, banyak sekali nama yang harus emak sebut
untuk dimintakan ampunan pada Tuhan…….’

Aku membuka mata kecilku
Setitik cahaya mengintip menyilaukan,
Dan suara orang-orang ramai menggali rumahku
“Allah Maha Besar …..mereka selamat!”

Untuk pertama kalinya dalam hidupku,
Aku melihat senyum terindah wajah emakku
Dan aku bernazar, suatu saat yang sama kelak……
Emak tidak menyebut namaku…….








Juara II
SENANDUNG RINDU RADEN BUDIRING
Karya : M. Hasan Sanjuri

Melalui keperihan di lambungku, aku mencoba men
yusun bahasa. Menari bersama asap dupa. Seakan-akan ruh para leluhur datang menjengukku. Menanyakan tentang keris pusaka dan tentang kematian yang disesalkannya. Ada cahaya bintang yang menyelinap di atas atap. Menggerak-gerakan sisa malam yang sempit. Aku tidak mengerti. Inikah yang disebut penyesalan? Kelewang, keris dan juga bambu runcing tetap tergantung di dinding yang tenta. Tiba-tiba kitab hasil pertapaan berhamburan. Membentk peta kegelisahan yang selama ini terpendam dalam kalbu.

Di jalan-jalan raya. Suara delman memecah sunyi. Roda-roda berpaling dari luka. Berputar. Seakan telah menemukan isyarat kebahagiaan di pinggir-pinggir jalan. Lalu kita menimbun kata-kata dari sisa pertempuran yang sia-sia. Ribuan anak balita bersila di sudut goa. Membaca garis perlawanan yang kita titiskan dalam dendam. Namun adakah di sana Tuhan membaca pikirannya? Sehingga kematian tidak perlu lagi disesalkan?

Aku menyaksikan orang-orang bernyanyi di televisi dengan lagu yang tak pernah diajarkan oleh nenek moyangnnya. Sebuah lagu yang tak mampu membangkitkan asmaraku untuk bercinta. Aku merindukan tubuhku lahir pada abad pertama dari putaran dunia. Berjumpa dengan adam yang masih meragukan dirinya manusia. Seorang pemuda menelepon kekasihnya di pagi buta. Adalah hawa menyisir rambutnya disana? Atau sedang bernyanyi untuk meredamkan perih setelah pembunuhan putranya? Tiba-tiba aroma firdaus yang kudus menampar sudut hatiku.

Purnama telah membagi cahayanya. Gerhana tersimpan dihatiku. Lalu kembali kusucikan tubuhku dengan baris-baris doa.

Bagaimana mungkin aku bisa menghentikan tetes airmata di pekarangan rumah sementara mimpi dari malam ke malam selalu berkemas diri untuk pergi dan meninggalkan luka baru di pelupukku. Hembusan angin begitu dingin memporak-porandakan istana yang kubangun di dadaku.

Tahun ini seakan-akan menunggu matahari pecah di ubun-ubun. Debu tetap menempel di lipatan baju. Tiba-tiba di selokan belakang rumah terdengar senandung lagu daerah mengalir dengan deras, mencari muara di hatiku. “di mana kemerdekaan itu?” teriak seorang lelaki dengan busur di tangannya. Tanah perbatasan-tanah perbatasan berapa purnama yang dibutuhkan untuk mengenalmu? Dalam buku harian kutulis namamu yang selalu terancam bencana.

Hari pertengahan musin hujan telah tiba. “Anakku negeri baru menunggumu”.









JUARA III 
 NYANYIAN SUNYI KEMISKINAN
Karya : Bayu Gautama

Tadi malam buta
Setelah matahari tidur
Aku menggadaikan nyawaku
Pada seorang lintah darat
Yang biasa mencekik orang-orang di kampungku
Aku ingin pagi nanti
Setelah matahari bangun
Aku bisa pergi ke pasar cicadas
Membeli tahu,
Kangkung,
Juga beras
Yang harganya semakin sombong
Tidak mau lagi bersahabat dengan orang-orang sepertiku

Tapi setelah pulang dari pasar aku pasti bingung
Uangku habis
Dan lusa esok
Nyawaku pasti sudah dijual lintah darat
Dan di beli saudagar kaya
Dengan harga lebih tinggi















 Juara Harapan I
RENCANA SEPULUH HARI KE DEPAN
Karya : Dian Hartati

Ketika bijak berbicara
Apa yang hendak kau sampaikan
Mengenai amarah alam
Yang tak juga hentikan setiap luapan

Daratan jadi lautan
Malam bertambah kelam
Sementara bisu kampung-kampung tak juga reda

Ini adalah serapah hari
Tanggul-tanggul pecah
Mulut telah lelah meminta petuah

Sampaikan pada penguasa langit
Apa rencana sepuluh hari kedepan

Ruang itu hilang sudah
Tenggelam bersama harapan
Petak kenangan yang tak mungkin hadir kembali

Ketika bijak berbicara
Apa yang hendak kau sampaikan
Mencari celah di setiap alir kerinduan
Masa kecilpun hilang
Sawah ladang raib dalam sekejap waktu

Di mana lagi tempat pijakku
Sementara tanah-tanah kini tak terlihat
Pohonan tinggal puncak yang ranggas
Bubungan begitu lindap di mata

Masih lekat dalam ingatan
Semburan itu mengawali segala kisah
Mengumpulkan segelintir orang
untuk merencanakan kerja
sepuluh hari ke depan








Juara Harapan II
KAKTUS
Karya : Ihung (Dian Nendi)

Bunga kaktus
Teramat paham
Pada gelar
Yang dipentas
Di trotoar

Kabut
Direbah halilintar
Lalu turun air hujan
Sederas biji buah ketumbar
Dan kota membangun perahu
Dari lembar kain jemuran
Daun pintu
Juga batang-batang tumbang

Kenapa ada tangis yang pilu
Keluh keringat bercampur karat
Wajah-wajah gersang
Berhimpitan
Berdesakan

Menyeru jalur arah arakan
Menuju gedung
Yang dikononkan menggiurkan

Kenapa ada api berkobaran

Malam dalam cahaya temaram
Bunga-bunga berpindah tangan
Harumnya menyebar
Diantara tubuh yang kedinginan
Pada lontar
Yang dicipta selembar Koran

Kenapa ada darah tanpa luka

Sedang kaktus
Masih menyimpan durinya
Dalam-dalam






Juara Harapan III 
SAAT BERBAGI
Karya : Fritz Hendrik Nino

Kala ada waktu berbagi
Saat itu manusia mengerti
Bahwa sepotong roti bukan bagi
sebutir ragi

Satu bendera adalah kegembiraan
untuk tidak saling mendera

Kala senja enggan berlalu
Saat itu kita harus berasa malu
Gendang di desa bertalu-talu
Kirimkan tanda agar semua tahu
“Disini kawan kami butuh teh secawan”
“Ulurkan tanganmu kawan
untuk beberapa potong makanan”

---------------------- (urutan puisi di bawah ini adalah random dari 100 puisi terbaik)---------------

HATIKU,,HATINYA,,HATIMU
Karya : Deden Maqsudi

Yang di sana !! cobalah ke sini
Yang di situ !! cobalah ke mari
Yang di atas !! cobalah ke bawah
Hiii,,yang di bawah !! jangan diam saja

Aku ingin bertanya satu hal!
Ya,,,ada hal lain juga sih.

Kenapa sih gak bisa Satu?
Kenapa sih gak bisa diam?
Kenapa sih jadi diam?
Kenapa sih gak bisa mengerti?
Kenapa sih gak bisa sabar?
Kenapa sih,, dan masih banyak sih lainnya,,untuk kalian!

Aku cuma butuh pengertian kalian
Cobalah jalani hidup dengan hati jangan pakai kepala!
Masih gak mengerti? Lebih baik rendahkan dulu volume pribadimu
Dan kita bertanya dengan hati,,,hati,,,dan hati,,,



DI PERSIMPANGAN JALAN
Karya : Idris Siregar, SH

Menemui banyak bibir mungil mengais kata
Dengan menjuntaikannya kehamparan jendela kenderaan
Aku tersentak dari lamunan café dan resto
Sebingkai menu yang menyelusupkan nikmat
Tergeser dan jatuh dalam bias rona wajah mereka
Kapan mereka usaikan dahaga
Kapan mereka menyeka itu peluh
Kapan mereka membuang sedu sedan

Menemui banyak mata mengejar asa
Dengan menaruhkan jemari di bawah matahari
Aku tersentak dari bayangan sofa dan ruang asri
Sebentuk lampu yang terangi sanubari
Tersisih dan menepi ke jejak kaki mereka
Kapan almanak milik mereka
Kapan peta terbaca mereka
‘Tuk tiba di wilayah bahagia
Bukannya daerah purba dan tuna!














SOME DREAM’S
Karya : Ahmad Ridwan Rajih

Kala kita melukis tentang semua keindahan
Kita melupakan semua keburukan
Kala kita terbang jauh dari kenyataan
Kita melupakan semua kenangan

Hanya dalam mimpi kita tersenyum
Hanya dalam mimpi kita tertawa
Hanya dalam mimpi kita bahagia
Hanya dalam mimpi kita tenang

Saat kita tersentak dan terbangun dari mimpi
Kita sadar bahwa kita hanya segelintir manusia yang sombong
Saat kita belajar tuk berjalan
Kita sadar bahwa kita hanya segelintir manusia yang pasti terjatuh

Kawan……di dalam mimpi kita selalu bermimpi
Tanpa lelah kita kuras pikiran
Ketika bayang mimpi menghampiri
Kita berlari mengejar meski samar


DEBU ITU
Karya : Ahmad Ridwan Rajih

Bukan aku membencimu
Tak ada alasan untuk itu
Dalam waktu kau selalu ada
Bukan aku membuangmu

Setelah pergi kau kembali
Bukan aku menyingkirkanmu
Aku tak ingin warna hari kelabu
Ahh…….mungkin kau hanya singgah

Kelam mendelik !!!
Menyapa sadis !!!
Setelah ku sapu bersih dan berkilau
Debu itu datang lagi

Cahaya itu redup lagi
Kusam berdebu
Debu itu memaksa !
Membuatku terpaksa menyapu lagi



RUSA
Karya : Fritz Hendrik Nino

Layaknya rusa
Yang berlari dan terus berlari
Pada sebuah padang yang kering
Lalu ada sederet pohon tumbang dihadapan
Yang ingin menahan lajunya

Sementara ia tahu
Ada segompyok rerumputan di balik
Si penghalang

Tidakkah pejuang-pejuang kehidupan itu
Ibarat rusa
Yang rindu pada rumput dedaunan di seberang
Bukankah ada sekumpulan hutan pada negeri pulau ini
Yang disemaki rumput beserta daun-daun pepohonan

Tadi adakah rusa-rusa yang berjabat tangan
Karena tanpa putus menganyam rumput
Yang berkelimpahan ?


KERTAS BERWARNA
Karya : Fritz Hendrik Nino

Terlihat
Seorang anak kecil
Tengah memotong kertas-kertas berwarna
Menjadi potongan-potongan
Yang sangat kecil

Terlihat
Si anak kecil
Baru saja selesai
Menempeli gambar polos seekor burung
Dengan potongan kertas-kertas kecil
Berwarna-warni

Coklat, hijau, kuning pada bulu-bulu burung
Torehan kuning pada kaki dan paruhnya
O banyaknya, o indahnya warna-warni yang menyatu
Kita adalah kesatuan
Yang saling melengkapi
Seperti warna pada bulu-bulu burung itu

 DOA LANGKAH MENUJU BAKTI PADA NEGERI
Karya : Tohir

Ya Allah, Ya Tuhanku ………
Dengan kebesaranmu, Mohonku
“Limpahkanlah kepada kami kekuatan, kemampuan dan kemauan
Agar dapat menyelesaikan tugas yang dibebankan di pundak kami”

Ya Allah, Ya Tuhanku …..
Andai permintaan itu tak layak bagi kami
Maka cukupkanlah permohonan, dengan Ridho-MU
“Jadikanlah kami, putera dan puteri bangsa yang sadar diri akan derma pada Nusa
Jadikanlah kami, putera puteri bangsa yang jujur setia dalam bakti pada Negara
Saling merangkul kala tersebar
Saling menjaga kehormatan kala sedih duka
Saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan
Saling menyempurnakan dalam kekurangan”

Ya Allah, Ya Tuhanku ……..
Sempurnakanlah pengembaraan hidup kami
Dengan menjadikan kebersamaan dalam kebangsaan Indonesia ini
Sebagai ibadah kepada-MU
Dan sebagai bukti bakti taat kami pada negeri
Amien !










KALAU TIDAK SALAH
Karya : Tohir

Kalau tidak salah ….
Bangsa ini terhimpun dari manusia-manusia yang tak tuli
Suara tangis anak bangsa…..

Suara tangis hingga parau
Meminta jangan perangi saudara sendiri
Suara tangis hingga serak habis
Meminta jangan tutupi mata nurani

Kalau tidak salah …..
Bangsa ini terbentuk dari kumpulan manusia yang tak buta mata
Tuk melihat sekitarnya

Melihat banjir darah tak bermuara
Dari tubuh yang seakan sudah tak berharga
Melihat ratap penderitaan teramat sangat
Hadiah pahit dari serakahnya makhluk perang

Kalau tidak salah……..
Bangsa ini lahir dan tumbuh atas kerjasama dari manusia-manusia
Yang tak bisu lidah, tuk’ bicara pada dunia……

Bicara jujur dengan halus bahasa, redamkan amarah
Bicara tulus dengan bersih hati, selesaikan masalah
Bicara lantang dengan kebesaran jiwa, suarakan pada Dunia
Bangsa kita beradab dan berwibawa

Kalau tidak salah ……..
Bangsa ini terproklamasikan dari manusia-manusia
Yang tak hilang hati dan rasa mencintai

Mencintai makhluk yang terkodrati bersama
Mencintai damai yang tertakdirkan untuk sesama
Mencintai hidup demi kehidupan

Kalau tidak salah ….
Bangsa ini adalah hasil penjelmaan dari manusia-manusia
Yang punya telinga, punya mata, punya lidah dan bibir
Serta punya hati dan rasa mencintai
Untuk mempertahankan, yang telah Tuhan persatukan
Kalau tidak salah ……!!!!



 PESAN IBU PERTIWI
Karya : Tohir

Untuk Kau….
Putera Ibu yang berambut keriting
Ibu bertanya…,
Apa yang sebabkan kau merasa beda?
Bukankah bila kau terluka
Darah yang keluar berwarna merah,
Sama dengan warna darah putera Ibu yang berambut lurus

Untuk Kau….
Puteri Ibu yang berkulit putih
Ibu bertanya…,
Apa alasan kau merasa lebih?
Bukankah bila lapar
Kau memakan sari pati tanah Indonesia
Sama dengan yang di makan puteri Ibu yang berkulit hitam

Untuk kalian semua….
Putera puteri kebanggaan penopang pandu Ibu Pertiwi
Ibu berpesan
Apapun agama yang mendasari keyakinan kalian
Siapapun nama Tuhan yang jadi panutan dalam setiap langkah kalian,
Jangan jadikan kalian enggan
Tuk’ terus menopang pandu Ibu ini

Justru kalian harus satukan lengan, jadi satu kekuatan
Yang dapat menjaga kokohnya pondasi penyangga pandu ini
Dari goncangan-goncangan ego dari hantaman badai keserakahan
Yang akan coba runtuhkan pandu Ibu pertiwimu









PERCAKAPAN ALU DAN LESUNG
Karya :Margaretta Christita
Dug, tek, tok
Alu menyapa lesung dengan guraunya
Merekapun bercakap
Tentang anak manusia dan tanahnya

Dug, tek, tok
Alu berkata pada lesung
“Aku melihat dari atas sini,
Seorang pria tegap berkulit tembaga
Jemari tangannya mengelus mesra
Pipi gadis putih bermata segaris”

Tek, tok, dug
Jawab lesung kepada alu
“Dari bawah aku melihat,
Pemuda jangkung, berambut jagung
Tengah menunggu gadisnya yang ayu dan sawo matang
Menyelesaikan puja sembah pada dewata
Di depan gerbang pura”

Dug, tek, tok
Anak manusia menapakkan kaki pada pasir dibawah lembayung
Mereka sudah lupa,
Bertahun lalu ketika mereka ingin saling menguasai
Saling bunuh dan bertikai

Tek, tok, dug
Putaran waktu membantu ingatan kembali
Mereka menyusu pada satu ibu, bumi
Dan perpangku pada cakrawala yang sama
Menapak pada sebuah tanah berselimut seresah

Dug, tek, tok
Mereka tak lagi peduli apa yang mereka telan
Nasi atau roti
Mereka mulai membangun rumah
Dari tiap gumpal tanah
Mereka mengisi dunia
Dengan anak anak yang mereka buat dari segumpal darah
Untuk siaga membela tanah airnya

Dug, tek, tok
Itu lebih bijak dari pada mencari neraka
Yang tersulut karena adanya perbedaan raga
Ya, biarkan mereka menyusun darma
Sebelum kembali pada penciptanya

Tek, tok, dug
Lesung menutup irama bincangnya
Tentang anak manusia dan tanahnya

SERPIHAN PESAN
Karya : Kristia Pratiwi

Gelap….
Tertutupnya malam …..
Bercahayakan bulan di titik sana……
Terlihat bocah kecil……
Melangkah hampa tiada arah…..


Terdengar bisikan angin…..
Menyampaikan satu pesan….
“Janganlah kau putus asa…”

Tiap langkah adalah hidup
Hidup adalah masa depan
Mari songsong masa depan,
Berikan senyuman…..
Untuk mereka yang terdiam…..
Di sini…..di Indonesia…













SURAT DARI ANAK BANGSA
Karya : Iccha Titis Yayistri

Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu angkuh untuk mengatakan maaf
Dan terlalu lugu untuk mengatakan kebenaran

Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu mudah untuk menumpahkan darah
Tetapi sulit untuk membersihkan amarah

Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu sudi untuk membisikan damai
Namun hina untuk menghentikan perang

Oh, bangsaku!
Mengapa engkau terlalu suci untuk memanggil Allah
Sementara haram untuk melakukan kebajikan

Oh, bangsaku!
Sadarlah!
Bahwa hanya kebencian yang ada padamu

Lihatlah!
Bahwa hanya pedang yang ada padamu

Dengarlah!
Bahwa hanya hujatan yang ada padamu

Ciumlah!
Bahwa hanya kebusukan yang ada padamu

Kecaplah!
Bahwa hanya kepahitan yang ada padamu

Rasakanlah!
Bahwa hanya kesakitan yang ada padamu

Oh, bangsaku!
Cepatlah bertobat
Sebelum dimakan oleh laknat

Oh, bangsaku!
Carilah kasih
Sebelum disembunyikan oleh benci

Oh, bangsaku!
Segeralah berobat
Sebelum dipatahkan oleh cacat

Oh, bangsaku!
Hadaplah Tuhan
Sebelum dimangsa oleh setan

Oh, bangsaku!
Dengarlah suaraku
Sebelum ditelan oleh maut

POTRET KEHIDUPAN KITA
Karya : Iccha Titis Yayistri

Kutitip rindu ini
Pada bentuk cakrawala
Lewat layang-layang kusampirkan
Dibenangnya

Semoga kalian semua bisa mengeja
Betapa menyakitkan jatuh cinta
Lebih baik hidup dalam benci
Kapan saja datang berahi membunuh
Kau tinggal tusuk badik
Dan mengalirlah darah

Itu tak bisa kau temui dalam cinta
Cinta, selalu menuntutmu berjaga
Tentang apa saja

Lihatlah benci ini, dia
Menjadikan hidup kita lebih
Bergairah, apalagi untuk menumpahkan darah

Hei, tengok betapa nikmat
Rasanya memenggal kepala

Oi, dengarlah merdu nian
Suara erang kesakitan
Itu semua tak bisa diberikan oleh cinta
Ayo, mari bergairahlah

Mumpung darah masih merah
Selagi napas masi hangat
Siapa paling banyak membunuh
Dialah manusia paripurna


BISIK AYAT
Karya : Muchlis Zya Aufa

Sehabis adam dan hawa telanjang
Kepadanya kau ajarkan nama benda-benda
Nama-nama bergerak
Menjadi kata
Mengalirkan dunia
Ke segala raut tanda

Kata-kata kau bungkus dengan api sabda

Di bukit tursina
Kau bisikan kepada musa

Tapi ramses menuduh sihir dusta

Dalam rahim suci mariam
Sabda kau sepuh dengan kilau ruh kasih setia
Kau tubuhkan pada sosok isa
Tapi sang tubuh cahaya
Disalib dibukit golgota

Di sunyi hira
Sabda dan kasih setia
Menyusut ke wangi perih gema

Kau bacakan pada Mustafa
Dengan tanpa huruf dan suara

Mustafa
Membacanya di antara wajah bengis latta dan uzza

Tapi kebodohan Arabia
Meludahinya
Melemparnya dengan batu dan tahi unta
Dengan bom dan tuhan-tuhan agama

INDONESIA APA YANG KAU PUJA
Karya : Muchlis Zya Aufa

Di Indonesia
Tuhan hanyalah milik agama
Sedang Negara bukankah kata lain dari ideologi
Ideologi renta dari suatu nama perusahaan

Perusahaan
Bukankah kumpulan orang-orang malas
Dan putus asa
Tiap hari mereka menyusun rumus
Dan produk mimpi untuk kepentingan diri

Lalu departemen dan institusi-institusi
Menjajakannya ke wilayah-wilayah
Ke pulau-pulau dan desa-desa yang jauh

Jika sebuah wilayah, pulau atau desa
menolak tawaran itu
Maka Negara akan memadatkannya
menjadi bom, pertikaian dan dendam yang panjang

Indonesia
Kemudian menjelma tangan keji
Melalui berita-berita aneh
Dari raut pucat televisi
Tiap saat melalu mencuri ketenangan rumah tangga

Lalu dimanakah tuhan bagi kami jalanan
Ketika Negara menggantikannya dengan jerit
dan nyanyian sumbang

Dimanakah Tuhan bagi si tergusur
Ketika Negara menggantikannya dengan ketidaktenangan
dan banjir yang menggenang

Dimanakah Tuhan bagi para buruh
Ketika Negara menggantikannya
dengan tangisan anak-anak mereka
dan tuntutan-tuntutan keluarga

Indonesia
Mungkinkah kau pergi bersama Tuhannya
Adakah kepak malaikat
Dalam setiap celah kata dan airmata
Hingga luka dan doa bisa menjumpaimu
Di sungai-sungai keruh
Dan tembok-tembok angkuh



PEJABAT MATAHARI
Karya : Ahmad Al Matin EM

Entah sudah berapa kali mataku membanjir
Mengingat hari yang berubah kelam

Kemarin sebelum matahari pulang
Kita tertawa menikmati hujan
Dan segarnya sungai canda

Namun sekarang setelah matahari kembali
Kisah-kisah yang kita tulis dengan tinta tawa
Terhapus oleh tangis mengaung
Antara gedung kaca

Entah apa yang terjadi
Tiba-tiba recehku digrogoti
Oleh rayap memakai tali leher
Merubah cerita penuh lemak
Jadi belulang berserakan kerikil-kerikil

Wahai para pejabat
Ingatlah bahwa sinar mataku
Masih terang
Dan takkan padam
Sebelum gigi-gigi serakahmu
Hancur jadi debu

“A T”
Alias Aku Tau
Karya : Yosi Adelina Rahman

Tersirat…. Tersurat ….. tersorot……..
Ragam fenomenalis’m di masyarakat
Ini bukan lelucon atau ibarat
Tapi, realita bicara dah sekarat

Banyak bukti yang tepat dan akurat
Penyebab bangsa kita melarat
Masih adakah lintah darat

Sumber kekayaan alam sebagai asset Negara dibabat
Akankah mereka sebagai insan yang sehat?
Boleh dikata tebal muka dan jidat
Semena-mena, apa saja diperbuat

Aku miskin tak makan, e…e…., mereka selalu disuguhi yang lezat
Bukan diriku saja, banyak sekali yang dalam kondisi darurat
Untuk mengatasinya, harta Negara mesti dipulangin para tukang sikat
Dermawan yang berezeki halal, pebanyaklah infak, sedekah dan zakat
Biar pahala berlipat, bermanfaat dan diridhoi Allah setiap saat
Amin……Amin…..Amin…..
Bagi semua yang berpangkat, tinggi derajat dan bermartabat
Tunaikan sungguh-sungguh, apa-apa yang telah menjadi amanat
Bukan main-main, takkala bersumpah dinobat
Diberi kepercayaan, berhak bergelar pejabat
Sebagai abdi masyarakat, agar hidup lebih maslahat
Namanya manusia memang tak sempurna, tapi suka langgar kodrat
Maka, ulah oknum yang tak mengindahkannya kualat
Sering mereka diperbudak jadi alat, karena imbalan kuat
Untuk orang kecil, kucurannya tersendat-sendat
Bagi penggede, muncrat…….
Mubazir dan percuma mereka di kasih mandat
Masuk di kepala, keluar dipantat

Tak nyana negeriku ini sarang koruptor kelas berat
Tahukah anda siapakah yang terlibat?
Ya, banyak! Tanya lembaga tukang tukang catat
Kenapa mereka oleh hukum tak terjerat?
Mungkin ada yang disumbat?

Biar negeri kita terselamat dan tak sesat
Dari pelaknat, penghianat dan pemeras keringat
Jangan salahkan ada yang menghujat
Perilaku yang terhormat
Supaya, kesinambungan tanah air tercinta bisa terselamat
Dari prahara, bencana, musibah, malapetaka yang dahsyat

Memang balada sedih ini tak pernah tamat
Waktu ke waktu pengendali negeri kian bejat
Yang tersisa ialah orang yang mau berkhidmat
Beliau-beliau figur penegak yang hakikat
Kebijakan yang diundang-undangkan tidak cacat
Karena hasil musyawarah dan mufakat
Dapat dipertanggungjawabkan dunia serta akhirat
Dan perwujudan dalam keseharian dapat memakmurkan rakyat
Tapi…., sayang sekali jumlahnya sebilang jari, sering kena sekat
Perjuangan mereka ada penghambat

Para pemimpin dan pejabat
Kalaulah benar negeri ini berdaulat
Simaklah ini maklumat
Dari simiskin bukan seorang diplomat
Yang tak paham asset bersurat
Buktikan pada rakyat
Siapa sajakah yang mesti menanggung akibat
Atas segala laku yang kau perbuat

Bila hukum dijalankan sesuai dengan fungsi dan peranannya secara tepat
Yang tersorot, berjiwa besarlah hai sahabat
Itu resiko dalam link birokrasi, jadi birokrat itu berat
Agar semuanya selesai, sekali lagi kalian tunjukkan bukti akurat
Segalanya untuk rakyat, bahu membahu dengan aparat
Optimislah, aparatur Negara yang bersih impian rakyat

Akhir kata, mari kita sama-sama bertobat
Belum terlambat
Kita akan dapat berkat dan Negara akan selamat.
Amin.


ANYELIR JINGGAKU, JANGAN KAU MASYGUL
Karya : Yosi Adelina Rahman

Wangimu tak semerbak kemarin,
Setia menemani setetes embun dan rerumputan di kala pagi

Mekarmu seakan hilang gairah menampakkan sarinya
Lenggok gemulai tubuhmu nan ramping
Digoda hembusan bayu tak bergeming

Simponi gemercik rintik hujan tak mampu merayumu
Kau masih diam termangu
Laksana melodi tak berlirik, kaku dan resah kau padamu…….

Anyelir jinggaku, jangan kau masygul
Tanah subur rumahmu, langit biru atapnya, rerumputan hijau mengelilingimu
Surya benderang menghangatkanmu, udara bebas kau hirup

Pupuk tanaman memberi kekuatan lahiriah
Kau tumbuh, besar, berkembang dan bermanfaat
Tamanku jadi indah, segar, asri dan apik penuh pesona
Berpadang mata dengan lirikan kagum memandangmu
Namun, kini dia membisu, ceriamu tiada lagi menghias hari-hari

Anyelir jinggaku, jujurlah padaku……sayang
Tersakitikah engkau?
Jawablah, tak usah kau simpan gejolak dalam debaran jantungmu
Ku tau kau tak akan berdusta padaku,
Sebab aku adalah sahabatmu yang selalu merawatmu tanpa jemu

Kau mekar serta ceria idamanku
Kutakut kehilanganmu, tanam bunga itu pasti bertanya
Ada apa, wahai anyelir jingga?
Tak dapat kujawab, tanya mereka
Sahabat-sahabatmu juga. Tanah, rerumputan, embun, surya,
hujan, pupuk dan semuanya termasuk diriku

Terbata , pelan….dia bicara. Dan …….., tak kuasa kumendengarnya
Naluri makhluk-Nya, hanya tumbuhan berperasaan dalam pada sesama
Ternyata, tanah tempat rumah dan taman bungaku akan digusur
Si Anyelir Jinggaku tak mau berpisah denganku
Pagi-sore kusiram, tanah gembur, rumput hijau, pupuk senantiasa ditabur,
Daun kering tiada diantara pengabdianku padanya, anyelir jingga sahabatku

Itulah yang membuat dia masygul
Tak rela ada yang semena-mena, pada siapapun jua
Mungkinkah Si Anyelir jingga dan sahabat-sahabatnya,
mampu memisahkan dan memusnahkan
Antara yang hak dan yang bathil? Kenapa, Tidak..!

Allah SWT Maha Tahu segalanya
Restunya tak sesiapapun yang menghalangi
Lewat angin bila mengamuk, binasalah!
Hujan, derasnya tak terbendung, hancurlah alam dan sejuta pesonanya
Angin dan hujan kecil jadi teman, bila murka jadi peringatan

Anyelir jinggaku, angin, hujan dan semuanya adalah sahabat-sahabatmu
Mereka akan selalu menjagamu
Meskipun engkau harus hijrah ke taman yang lain
Kita semua sahabatmu, setia sepanjang masa

Allah SWT Maha tahu apa-apa yang diluar jangkauan hamba-hamba-Nya
Dia penguasa langit dan bumi beserta segala isinya
Tak pernah membiarkan kesewenang-wenangan dan ketidakadilan dari
orang-orang yang lupa dan lengah akan amanah serta tanggungjawabnya
Peringatan-peringatan yang dahsyat seperti tsunami, tanah longsor, gempa bumi,letusan gunung berapi, bencana transportasi di darat, laut dan udara
Bagaimana azabnya yang lebih dahsyat tanpa mengenal siapa, darimana
korbannya. Naudzubillah Mindzalik

Mawas diri, instrospeksi, tawaddu’ dan tawakkal kepada-Nya
adalah jembatan agar peringatan dan bencana berbuah hidayah dan
Rahmat-Nya. Iman cerminan kesungguhan hamba dalam mengabdi pada Sang Khaliqul Alam

Anyelir jinggaku, kuturut bahagia karena senyummu merekah kini
Yakin dengan lindungan dan pertolongan-Nya, pupuskan semua rasa yang
menghantui perjalanan hidup ini
Anyelir sahabatku, mari kita teruskan perjuangan ini
Masih luas bumi Allah untuk kita. Selamat berjuang


SANG PEJUANG
Karya : Euis Rohayati

Kudengar sang pejuang meringis
Menahan sakitnya jiwa yang teriris
Walau tubuh penuh luka
Namun semangat dalam dada tetap membara

Kulihat sang pejuang tertatih
Walau merintih menahan perih
Senyumnya siratkan harapan sebuah kemenangan
Matanya berkata “akulah yang akan kibarkan bendera kemerdekaan?”

Kutatap wajah sang pejuang
Tampak guratan saksi perang
Wajah kusamnya menyiratkan sebuah makna
Bahwa perang akan berlangsung lama




KAKIKU TELAH JAUH BERJALAN
Karya : Euis Rohayati

Kakiku telah jauh berjalan
Menapaki segala jejak-jejak kehidupan
Entah berapa ribu jalan telah dilalui
Entah berapa ribu langkah telah ditapaki

Kakiku telah jauh berjalan
Kadang dia jatuh berlumur darah
Kadang dia tertatih menahan lelah
Kadang dia merangkak menahan beban

Kakiku tetap tegak berjalan
Walau tanpa alas penahan panas
Walau tanpa sarung penahan dingin
Walau keringat harus terkuras

Kakiku tetap tegak berjalan
Mencari arah menuju kebahagiaan
Dan kakiku akan tetap tegak berjalan
Meninggalkan segala penderitaan




LINGKAR KOYAK
Karya : Gilar Mulyono

Saudaraku…..
Dulu kita rapat bergandengan
Dalam multiragam latarbelakang
Sampai membentuk kokoh lingkaran
Siapapun tak sanggup menyusup memecahkan

Saudaraku…..
Dari bulatan itu gugus energi dikerucutkan
Akan sebutir hakiki imagi asa
Rajut lestarinya sejahtera
Bersama sucinya sebuah nama

Saudaraku……
Saat mimpi menjadi nyata
Aku, kau, dan semua tertawa
Hingga hanyut dalam terlena
Lalu bagai ditampar tak percaya

Saudaraku…….
Kita hampir jadi kepingan
Menjinjing nanah menyandang darah
Terkapar di tebing putus asa
Tapi simpanlah tetes airmata

Saudaraku………
Adalah santun teguran mengitari raga
Untuk bercermin tengok ke belakang
Bahwa ego keserakahan membabi buta
Tlah menelan titisan bahagia

Saudaraku……….
Memang kita terlanjur terkoyak
Akankah rata menyatu tanah?
Tidak, kita bisa sembuh berbenah
Harapan didada masih tersisa

Saudaraku…..
Mari berdiri tanggalkan nestapa
Satukan arah padukan cita
Sambut matahari bersama cahaya
Pagi esok, yakin semoga berbeda



JEMBATAN BURUNG-BURUNG
Karya : Ihung (Dian Nendi)

Burung-burung terbang ke tenggara
Meninggalkan sarang dan sanak saudara
Meninggalkan sempurna luka; hutan yang terbakar
Gemuruh batang tumbang
Derak ranting dan kabut tebal
Mengantar hingga batas kota

Di atas tiang jembatan
Dilumpuhkannya kebahagiaan itu
Dikenangnya pula batasan hening dan air mata

Lalu mereka lintasi sungai-sungai kering
Batu-batu hitam yang diterkam kerontang
Lumpur terik dan keriting
Menunjuk arah muasal bising
Tempat segala pekik melebihi deru angin

Tak ada suara menyertai perjalanan
Paruh-paruh terkatup
Diliput basah lumut yang tinggal lamunan
Dililit kembang akar yang tinggal sejarah
Hanya hati yang melesat mendahului pergi
Menjumpai antrian panjang kendaraan

Lalu-lalang orang di lantai atas gedung pertokoan
Segala poster dan juga spanduk-spanduk iklan
Yang mereka tanyakan
Kenapa mesti hutan yang dijadikan ajang pertempuran
Kenapa mesti mereka yang kemudian harus mencatat kecemasan

Lalu sepenggal getir mengisahkan kepiluan
Ketika langit membangun mendung dari jutaan burung-burung
Ketika cakar demi cakar
menggambar darah
Dikibar jantungmu yang lambat tengadah

“burung ababil menyerang kota
Burung ababil menyerang kita!”



THE POEM FOR JAKARTA
Karya : Ahmad Al Matin EM

Temaram lampu-lampu menghias
Seakan bintang turun dan tidur di bumi

Di sini beribu batu batu tersusun
Jadi istana pencakar langit
Berjuta semut besi menderu
Memuntahkan asap penat :
Kepalaku sakit

Jakarta, tempat para pejabat
Berpesta dengan suapan serakah
Tempat para hawa menawarkan
Sajian hangat malam hari

Jakarta, penuh kabut dendam
Orang-orang berwajah hitam berkulit kelabu

Jakarta, lautan dengki dan takabur
Dan senandung kesombongan menggelegar
Dari timur ke barat
Dari selatan ke utara

MAWAR
Karya : Ihung (Dian Nendi)

Seikat mawar
Dijual penyamun
Di jalanan

Di bawah lampu merah
Diantara simpang-siur kemacetan
Adu-tawar dan perdebatan
Menjadi warna
Peradaban

Dari mulut ke mulut
Dari hari ke hari
Harum mawar laksana topan
Memporak-porandakan kedamaian
Terang bulan diatas klopak trotoar

Seikat mawar
Yang dijual penyamun di jalanan
Tak lebih dari sepasir janji
Yang butirnya
membuat matamu buta
Dan kau
Tak bisa lagi meraba
di mana
Keadilan itu bertahta



TUAN, TAK KUJUAL BANGSA INI
Karya : Dian Hartati

Negeri ini tuan, tak akan kugadaikan
Hanya demi sejarah yang bungkam
Peristiwa demi peristiwa ganas
Telah banyak melecutkan pengorbanan

Jiwa-jiwa banal penuh semangat
Deras katakan takkan sisakan amarah

Tuan, dengarlah
Aku tak akan menjual sebentuk kenangan
Karena pertiwi adalah jiwaku
Mengakar di hati
Seumpama rundukan padi
yang kini terendam air mata

Kilasan itu tentu saja menjengahkan
Badai datang silih berganti
Meminang nasib sang negeri

Duhai tuan,
Betapa licik dan picik jalan pikiranmu
Membungkus semua dalam keping-keping mata uang
Bunyi gemerincing yang pilukan hati

Jangan pernah lupa
Di sini, tuan lahir dan dibesarkan
Di tanah ini tuan meninggalkan jejak petilasan

Ayo tuan,
Ikutlah denganku
Kita bergegas meninggalkan batas
Ketaksadaran




NEGERI INI
Karya : Chairil Anwar ZM

Di negeri ini
Manusia jujur tidak punya tempat yang mujur
Kecuali hanya akan hancur dimakan jamur

Yang bertahan sampai kursinya bertahan
Adalah yang pintar berkelakar
Mulutnya mengulum berbusa-busa retorika
Tanpa hikmah dan makna

Di negeri ini
Keserakahan mewabah
Kekuasaan merajalela
Kemunafikan membudaya
Sementara kebenaran takluk oleh rasa takut dan ambisi
Nurani lumpuh oleh nafsu memburu
Iman dan keadilan tunduk oleh kekuasaan

Di negeri ini, ah, manipulasi-korupsi di segala sisi
menjadi tradisi!

Orang-orang yang terpilih di gedung megah kerap berpesta meriah
Dengan alasan safari, mereka mengagendakan rekreasi tiap hari
Sementara yang memilih semakin tersisih dan tertindah

Di negeri ini
Mengimpor beras menjadi hal wajib dan biasa
Padahal para petaninya sendiri semakin teraniaya
oleh harga pupuk yang terus meraja

Sementara yang gencar digalakkan adalah ekspor babu dan asap dan debu

Barangkali kini yang tersisa pada kita tinggal doa
Dalam rintihan asa
Meski tampak tersia

Dan terlebih introspeksi langkah, strategi dan aksi
Di negera ini
Apa yang akan kuberi?


APA KABAR PENDIDIKAN NEGERIKU
Karya : Dian Hartati

Sampai kini aku tak tahu
Apakah titel sarjana yang dibangga-banggakan ayahku dulu
Dapat menyambung lambungku, istriku dan anak-anakku

Tujuh belas tahun sudah segudang uang di lumbung keringat ayah-ibuku
Kuhabiskan di meja pendidikan
Namun aku tetap tak mampu memberi anak-anakku sesuap makan

Tujuh belas tahun sudah kuhabiskan waktuku di ruang gerah sekolah dan kuliah
Namun tak memberiku otak brilian dan keterampilan yang sepadan

Aku hanya terampil menyontek garapan temanku
Aku hanya terampil membajak dan menjiplak karya negeri orang
Aku terampil mencuri ide-ide, bukannya mencipta

Apa kabar pendidikan negeriku,
Adakah kini kau sudah berbenah
Sehingga anak cucuku akan dapat merasai sekolah yang indah
Dan masa depan yang cerah?



TIKUS-TIKUS KKN
Karya : Yashinta Nuniek Arsianty (Sintha)

Apakah kalian semua tahu binatang apakah tikus itu?
Tikus itu binatang hitam, kecil dan binatang serakah tak punya malu
Kenapa tak tahu malu? Sudah kenyang makan masih mengambil makanan lain
Sudah mengambil makanan masih menumpuk makanan lagi dan mencari makanan lain

Dan binatang tikus itu kalau dikejar paling cepat lari dan bersembunyi
Tikus bersembunyi dimana saja yang penting aman dan tak bisa ditangkap manusia
Tentu saja tikus tidak mungkin mempertanggungjawabkan perbuatannya
Dikejar kemanapun dan sampai kapanpun, kita tak pernah tahu dimana tikus bersembunyi

Jika seorang pejabat negara, atau pengusaha diberi wewenang oleh atasannya
Memperoleh kehidupan terhormat, mewah tidakkah cukup berbahagia
Mereka diberi amanat untuk menjalankan tugas dan jujur dan sebaik-baiknya
Namun ternyata didiri mereka apa yang sudah diberikan tak ada kepuasan baginya

Amanat untuk bekerja jujur, dilupakan begitu saja
Mulailah mereka menumpuk kekayaan, mencari harta
Segala cara dan berbagai macam dihalalkan begitu saja
Korupsi, kolusi, nepotisme itu hal yang biasa

Jika sudah demikian, tidakkah mereka sama saja dengan binatang tikus
Tikus adalah makhluk Allah tak punya fikiran, tapi mereka punya akal sehat dan fikiran
Jika tikus serakah dan tak punya malu, apakah mereka mau menjadi seperti tikus
Sedangkan mereka orang terhormat yang punya gelar dalam pendidikan

Tikus-tikus KKN yang berwujud dalam diri seorang manusia
Tentu saja kita tak boleh lengah dan harus ditumpas setuntasnya
Tumpas dan basmi tikus-tikus KKN yang mengambil harta Negara
Jangan biarkan Negara rugi dan kita musnahkan tikus-tikus KKN bersama-sama!



RATAPAN ANAK BANGSA
Karya : Lia Yuliana

Aku terlahir dengan bangga
Ku pelajari tiap bulir pancasila
Ku pahami arti bhineka tunggal ika
Siapapun pemimpin itu, kami bangga
Karena aku hidup, berlimpah sempurna

Namun,
Politik datang mengotak atik
Berlomba-lomba mencari simpatik
Agar Negara menjadi hak milik
Rakyat jelata mulai terpedaya
Terperangkaplah dalam puing cerita

Aku tak perduli siapa pemimpin kita
Aku hanya minta kembalikan duniaku
Kembalikan senyumku yang terenggut
Kembalikan ketenanganku yang terusik

Wahai sang penguasa…..
Berhentilah mengurusi politik
Tataplah aku sang penerus bangsa
Yang teraniaya oleh dunia

Wahai sang penguasa …….
Bukankah rakyat memilih engkau
Karena pintar
Hingga engkau akan mampu
Mengamalkan bulir-bulir pancasila
Mewujudkan bhineka tunggal ika

Wahai sang penguasa…..
Kami anak-anak bangsa
Bagaikan ranting kering yang rapuh


Kami rindu hangatnya mentari itu
Kami rindu tanah gembur itu
Kami rindu hutan hijau itu
Kami rindu suara-suara
Gemericik air diatas genting itu
Kami rindu,
Kami rindu,



TAMAN MAKAN PAHLAWAN
Karya : Keanan Moh. Ansorie

Sebatang kayu melahirkan kupu-kupu
Lumut segar
Sebuah siang

Daun daun basah menebarkan aroma sejarah
Jiwa jiwa suci yang menjadi sorga dalam ketiadaan
Menurunkan berkah

Akar akar coklat menggeliat
Seperti nyanyian atau semangat yang liat
Dikumandangkan anak anak pejuang
Keluar dari rapatnya kesulitan

Kita membaca ulang nama di batu nisan
Nama nama milik darah yang telah tumpah
Menjadi kekasih bumi ini
Kita membaca ulang riwayat kembang kembang jaman
Sajak sajak hutan belantara
Yang dikenal para gerilyawan

Lingkaran waktu melahirkan bangsa
Bayangan pepohonan
Burung burung liar
Kita yang datang dari berbagai madzhab dengan segala sebab
Bertemu dalam langkah air mata yang sama
Menghaturkan terima kasih pada kehadiran
Yang mewariskan keberanian mengorbankan semua
Kecuali harga diri
Kesederhanaan
Kemerdekaan yang tak boleh dinodai

Doa kita semoga senantiasa mengalir memasuki tanah air
Memberi kebaikan pada segala yang harus tumbuh
Meninggalkan perjalanan tanpa dasar
Cinta

Di tepi kota
Udara cukup bersahabat untuk mengolah berbagai pertanyaan
Berbagai kenangan tentang hikayat hikayat gelora
Peretmpuran yang ditembus senjata senjata sederhana
Nyala bara dalam dada kakek nenek kita



KIDUNG PERSEMBAHAN
Karya : Keanan Moh. Ansorie

Selembar puji bagimu yang telah memberiku tanah
Air yang gelap dan indah

Ibu yang menyiapkan segala bahan
Dan rupa rupa bahasa yang diperlukan seorang pejalan

Kini aku mulai merasa semakin sederhana
Tidak ada yang bisa membuatku terluka
Aku tidak akan kecewa
Jika tidak memiliki masa depan

Setiap saat adalah akhir
Adalah tujuan yang mesti dinikmati
Setiap saat adalah awal
Adalah kekosongan
Mungkinkah ada tempat untuk disesali

Selembar puji bagimu yang menyimpan masa laluku
untuk yang pertama kali
aku ucapkan
aku mencintai tanah
air yang gelap dan indah ini

ibu yang membiarkanku mencicipi batu
kayu
rasa sesak
serta hikayat hikayat
yang kering
yang basah

tulang daging darahku mengubur arah arah
semua yang diharapkan
yang ada disana
ada disini
menjadi kidung
selembar puji
untuk kain kafanku nanti



SELAIN LUKA
Karya : Keanan Moh. Ansorie

Tidak ada yang lebih pasih menurunkan bahasa
Selain luka

Arah arah hilang
Begitu juga impian
Dan percintaan yang ringan

Luka berat membakarku
Dalam batu batunya

Bintang bintang bisu
Begitu juga harapan
Dan teman teman yang kelelahan

Aku gemetar
Menerima buah buah kearifan
Dalam suara
Luka yang dalam

Dalam luka yang panjang
Keras dan mengejutkan
Aku memberi salam pada kegelapan
Lalu memakan reruntuhan keyakinan

Tidak ada yang lebih pasih menurunkan cahaya
Selain luka
benderaku



INTERUPSI!
KEPADA HUKUM
Karya : Wahyu Barata P.

Interupsi!
Bertahun-tahun kusaksikan, kau sangat tangkas menangkap pencopet, pencuri ayam, dan pelacur kelas teri. Tapi sangat lamban memburu pengemplang Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, pengemplang pajak, gembong-gembong perjudian, dan Bandar-bandar narkoba.

Bertahun-tahun kusaksikan, kau sangat tegas menuntut penjambret jemuran, perampok rumah mewah, dan pencuri sepeda motor. Tapi begitu lemah dan malu-malu saat menuntut koruptor dana Badan Usaha Logistik, pembobol bank, skandal pembelian tank – helikopter, dan kasus penembakan mahasiswa Trisakti.

Bertahun-tahun kusaksikan, begitu kencang ketukan palumu untuk memenjarakan pengutil dan preman kampung. Tapi sangat lembut dan mencari-cari alasan agar terdakwa kasus korupsi meninggalkan sidang dengan status tak bersalah.

Selama ini pula kautorehkan budaya remisi bebas bagi narapidana kaya. Tapi hanya memberi sehari dua hari potongan hukuman dari bertahun-tahun di balik jeruji untuk narapidana miskin.

Interupsi!
Mengapa kau pandang bulu?
Mengapa di tanganmu pengadilan menjadi teater yang mementaskan lakon sarat ironi?
Mengapa kau manjakan para koruptor dibalik tirai besi dan rumah sakit?
Mengapa kau campakkan tuan Lopa, tuan Wirahadikusuma, tuan Syafiuddin, Bung Munir, dan aktivis mahasiswa dari titik kritis.
Mengapa kau memvonisku sebagai anak durhaka?
Mengapa kau tega menipu orang bodoh yang sedang berusaha percaya kepadamu dan memimpikan keadilan seperti aku?
Mengapa kau dustai kuasa ilahi dan hati kecilmu?
Apa kau sakit ingatan?

Interupsi!
Kau benar-benar membuatku ragu dan cemas
Jangan-jangan, dari waktu ke waktu kau hanya menjadi budak nafsu dan alat pembersih kejahatan yang bisa dibeli, alat rekayasa para pejabat untuk mencari untung, anjing penguasa, pecundang sejati, atau pengecut?

Interupsi!
Berapa harga yang harus kubayar agar setiap keputusanmu bisa menumpas tuntas segala tindak kriminal yang kini semakin melampaui batas?
Kapan kau akan bangkit dan membangun nyali?
Dan akankah kau secerah hangat mentari pagi?


BISIKAN AKAL BUDI UNTUK SAHABAT INTI
Karya : Abraham S

Ketika akal budi berbisik kepadamu,
Dari manapun ia datang, dengarkanlah nilai-nilai yang ia pesankan
Maka kehidupanmu akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan

Uraikan dan wujudkanlah segala bisikannya
Karena itulah yang akan menciptakan dirimu
Bagaikan insan yang mendapat karunia kekuatan

Sebab akal budi adalah bagaikan karunia kehidupan yang abadi,
Sebagai penacaran sinar yang sejuk, indah dan sehat bagi inderamu,
Serta mengajarkan pekerti yang lembut dan santun bagi dirimu

Ketika akal budi telah bermukim dan bersemayam
Di lubuk hatimu yang paling dalam,
Engkau akan menjadi insan yang perkasa dan sanggup melawan rasa tinggi dalam dirimu,
Dan juga bisa meredam dendam berbagai insan kepadamu.

Sebab akal budi adalah penasihat yang arif,
Peliput lara yang setia dan penuntun yang bijaksana

Merasa tinggi adalah bagaikan pekatnya kegelapan dalam kehidupan,
Namun akal budi adalah cahaya yang dapat menyinari gulitanya hati

Lepaskanlah tempurung yang selama ini ditutupkan orang kepada dirimu,
Jangan kau biarkan mereka memupuk subur rasa paling benar dalam kalbumu

Cairkanlah semua akar pahit itu
Apabila selama ini diam dan dibekukan dalam jiwamu

Bangunlah, bangkitlah, wujudkanlah dirimu menjadi mulia, arif dan bijaksana,
Biarkan akal budi meraga dalam kejernihan sukma

Sehingga bukan jiwa yang merana dan kelam
Yang disemaikan dan akan menuntun kehidupanmu
Karena jiwa yang kelam tidak bisa membahagiakan dan menyelamatkan,
Tetapi akan menyesatkan dan merusak perjuanganmu




BERSATU DALAM PERBEDAAN
Karya : Abraham S

Kita telah diciptakan dan ditakdirkan bagaikan pasangan,
Dan selamanya pula kita harus berpasangan.

Kita akan tetap bersama ketika menghadapi ancaman maut
Yang bisa merenggut hidup
Kelak bersama pula kita tinggal
Ditempat bermukimnya Sang Khalik yang penuh kedamaian

Tidak perlu menutup rapat ruang-ruang yang memisahkan diantara kita,
Biarkanlah angin surgawi selalu melintas,
Dan memberikan pelajaran menari kepada kita di tempat itu.

Hiduplah saling melengkapi, tapi jangan jadikan itu sebagai belenggu
Biarkan kebersamaan itu terayun bebas
Bagaikan gelombang lincah yang mengalun di semua pantai yang berbeda


Kita memang dapat saling mengisi gelas minuman,
Tapi tidak harus berasal dari satu botol yang sama.
Kitapun bisa salin berbagi nasi,
Tapi jangan selalu dari satu periuk yang sama pula

Marilah bernyanyi dan menari bersama-sama dalam segala suka dan duka
Dan sisakan ruang untuk menghayati dan menghargai
Nilai-nilai pribadi yang luhur

Dengarlah, senar-senar kecapipun mempunyai nadanya sendiri-sendiri,
Meskipun digetarkan oleh petikan tangan yang sama

Marilah kita saling memberi hati, namun jangan saling menguasai
Sebab hanya Tangan kehidupanlah yang bisa membuat semuanya sempurna

Bangunlah, bangkitlah, berdirilah yang tegak dan sejajar,
Namun tidak harus terlampau rapat berdesakan
Lihatlah, pilar-pilar kuil pemujaan,
Juga tidak pernah dibangun terlalu dekat

Lihatlah pohon nyiur dan pohon beringin
Mereka tumbuh bersama, subur, menjulang tinggi, kokoh dan sempurna

Namun masing-masing dari mereka
Tidak pernah merasa tumbuh
Di bawah bayangan dari yang satu dengan yang lainnya.



CINTA TANAH AIR DAN BANGSA
Karya : Abraham S

Cintaku kepada tanah air tidak menuntut suatu apapun,
Kecuali memberi keseluruhan diri, yang utuh dan penuh.
Cintaku kepada bangsa tidak mengambil apapun,
Kecuali memanfaatkan kemampuan untuk memberi dan pengorbanan diri.

Cintaku kepada tanah air tidak menuntut memiliki ataupun ingin dimiliki
Karena makna cintaku kepada tanah air dan bangsaku
Adalah perasaan bahagiaku.

Apabila aku telah merasa mencintai tanah air dan bangsa,
Aku tidak harus berkata
“Tuhan telah bersemayam di dalam hatiku”
Tetapi sebaiknya aku bisa merasakan bahwa
“aku telah berada di dalam Tuhan”

Dan juga, jangan mengira bahwa siapapun dapat menentukan sendiri
Arah jalannya cinta kepada tanah air dan bangsa,
Karena apabila rasa cinta kepada tanah air dan bangsa telah memilihku,
Dialah yang akan menentukan perjalanan hidupku.

Cita tidak menuntut, selain mewujudkan keagungannya
Namun jika aku mencintai tanah air dan bangsaku
Disertai berbagai impian

Aku akan mewujudkan impian itu menjadi kenyataan
Kululuhkan diri,
Mengalir bagaikan air bening dari sumbernya yang deras,
Yang menyanyikan lagu kebesaran dan kemerdekaan
Untuk mengenali kepedihan anak bangsa,
Menghayati kegembiraan mereka yang bersahaja
Merasakan sakitnya luka mereka
Serta mengikuti alur tetesan darah suka rela dan suka cita mereka,
Akibat perjuangannya mewujudkan arti tentang cinta tanah air dan bangsa

Terjaga difajar pagi kehidupan kedepan,
Menyongsong setiap perubahan dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari kemerdekaan baru yang penuh pancaran sinar cinta,
Dan menghimpun tenaga baru di teriknya matahari kehidupan,
untuk merasakan puncak-puncak getaran kemuliaan bangsa dan Negara

tertunduk dalam doa khusuk
bagi tanah air dan bangsa yang dicinta sepenuhnya hati

kunyanyikan sebuah kidung untuk pujian syukur
dengan hati pasrah dan tabah yang selalu tersenyum



INDONESIA BERSATULAH
Karya : Jeffri Rahmanda Putra

Ketika kincir-kincir garam
Mulai mengayuh pedalnya
Pertanda malam segera tiba

Riuh camar laut
Geleparan ikan segar tangkapan
Menambah ramai
Suasana laut sore itu

Lelaki tua menyeka peluhnya
Dia tersenyum…..
Sambil berbisik dia mengucap
“ini hasil lautku hari ini”

Dia senang,
Meskipun rembulan tak lagi mempertontonkan keindahan tubuhnya
Mungkin dia malu pada laut
Atau terlelap dibalik gugusan bintang

Itulah wajah dibalik Negara kita
Semampu apa
Kita bisa menyatukannya



KERETA RAKYAT
Karya : Ria Amelia

Ular besi ini meliuk tak segagah kemarin
Rutenya kini kerontang yang dulunya ranum dan hijau segar
Penumpangnya makin sesak
Ada pak tani, bu lurah, om pengusaha, masih banyak lagi
Mereka akur?

Kadang akur kalau menyangkut duit
Saling sungkur juga karena duit
Sadarlah kaum penumpang
Kita sama-sama ingin selamat, ingin cepat sampai, ingin tak berhutang
Kita sama-sama menumpang

Apalah salah bila sedari sekarang saling kenal berjabat tangan
Dan bila suatu hari esok
Kereta itu mogok dan merajuk tak mau jalan

Kita semua wahai kaum penumpang
Bersama-sama berani turun menginjak becek dan
Bahu membahu mendorong kereta rakyat itu



AKU, KAU
Karya : Jaelani

Apa beda aku, kau?
Aku miskin lagi sengsara
Kau kaya lagi bahagia

Beda apa aku, kau ?
Tubuhku sakit, hatiku sakit
Tubuhmu sakit, hatimu bahagia

Aku, kau apa beda ?
Aku sekolah tak ada biaya
Kau sekolah dengan mobil mewah

Aku, kau beda apa ?
Aku makan dengan keringat
Kau makan dengan nikmat

Aku, kau apa beda ?



PUISI TAK TERBACA
Karya : Hendri Kurnia

Aku menangis karena kalian tak ingin melihat
Aku tersiksa karena kalian selalu menghina
Aku bersedih karena diriku tak pernah terbaca

Aku terkoyak di antara tumpukan sampah-sampah
berserakan “pernahkan kalian peduli!!!!!!
Aku terinjak-injak dikeramaian dan kegaduhan
Yang selalu kalian ciptakan “Pernahkah kalian peduli!!!!!
Tidak!!!! Aku tau tidak!!!! Kalian tak pernah peduli!!!!!

Bahkan kalian tertawakan aku
Disaat aku meraung, menjerit kesakitan
Diinjak-injak kaki kalian yang begitu kejam
Bahkan dengan kasarnya kalian merobek
Mengkoyak, menyeret tubuhku, hanya demi
Ambisi tak berhati yang slalu kalian inginkan

Lihatlah aku sejenak ! begitu banyak
Keindahan yang ingin kutunjukan
Bacakan aku sebait saja ! karena berjuta
makna akan kusiratkan !

Begitu kotornya aku hingga kalian
Tak ingin menyentuhku walau sesaat
Sangat hinakah aku hingga aku
Tak pantas tuk terbacakan!
Apa karena aku buka tercipta dari tinta-tinta
seorang pujangga
Ataukah karena aku bukan terlahir dari jiwa-jiwa sang penyair
Kenapa !!!! kenapa !!!! kenapa !!!! aku tak terbaca!!!!!

Aku mohon !!! bacakan aku walau sebaik saja
Aku minta !!! lihatlah aku biar sesaat saja
Agar ragaku bisa bahagia di surga

Bila memang aku tak pantas tuk terbaca
Bila aku memang tak menarik walau sekedar tuk dilirik
Ingatlah slalu sedikit pesan dari baitku

Jika kotor dan bersih tak mampu bersatu
Jika hina dan mulia tak dapat bersama
Aku bicara atas nama jiwa
Esok hari takkan pernah ada bahagia

Aku ada dari untaian kata-kata
Jiwa yang terhina
Aku ada tapi tak pernah terbaca



AKU ADALAH MANUSIA PEKERJA
Karya : Bayu Gautama

Aku adalah manusia pekerja
Tanpa alat produksi
Tanpa basis ekonomi

Aku adalah manusia pekerja
Yang bertahan hidup
Dengan perasaan tenaga
Yang ku jual pada pemilik modal

Lalu bagaimana bisa,
Aku bicara soal masa depan
Jika nanti…..
Ketika tenaga ku habis,
Dan keringat kering dari badan
Aku di buang,
Dari rantai produksi yang menghisapku

Aku adalah manusia pekerja
Yang tak mau terus jadi orang kalah
Sehingga kalah
Menjadi keharusan sejarah
Semua harus dirubah !!!

Aku adalah manusia pekerja
Yang punya mimpi untuk hari esokku
Untuk hidup dalam kepastian
Dengan rantai produksi yang bersahabat

Aku,
Kamu,
Kalian,
Kita semua,
Adalah manusia-manusia pekerja
Yang harus turun ke jalan
Dan butuh alat juang
Untuk memerangi pemilik modal
Dalam persembunyiannya,
Di balik represi Negara kelas




AKU MELIHAT SEBUAH BANGUNAN
Karya : Bayu Gautama

Aku melihat sebuah bangunan
Lantainya dari tanah
Atapnya bolong-bolong
Karna gentingnya banyak yang pecah

Aku melihat sebuah bangunan
Temboknya retak-retak
Kulit catnya terkelupas
Daun pintunya hilang entah kemana
Meja dan bangkunya keropos
Di telan semangat keingintahuan

Aku melihat sebuah bangunan
Yang pada salah satu ruangnya
Ada segerombolan anak-anak
Bertebaran mengisi bangku-bangku keropos
Bajunya kuning kumal
Dan semuanya ada di balik seragam lusuh

Aku melihat sebuah bangunan
Gedungnya megah dan kokoh
Lantainya dari batu pualam
Daun pintunya besar dari kayu jati
Di dalamnya,
Di atas empuknya kasur busa
Ada seonggok jasad di balik selimut
Pulas
Dibelai lembutnya udara AC

Aku melihat sebuah bangunan
Tapi aku lupa di mana tempatnya



IMPIAN YANG TERTUNDA
Karya : Zunita F

Dan pada langit, pernah terucap suatu ikrar
Tentang kedamaian, tentang persaudaraan
Juga pada angin, pernah terbisik suatu harapan
Tentang luka untuk disembuhkan
Atau pada tanah, pernah tertanam cita-cita
Kebersamaan ‘kan tumbuh dengan suburnya

Lalu ikrar hanya sebatas ikrar, saat damai tak terdefinisikan
Harapan pun tersamar di tengah kemarau perseteruan
Pun cita-cita kian tak berdaya menghadapi keterpurukan
Hingga langit, angin maupun tanah hanya selamanya diam
Ketika keinginan, selalu tertunda

Selanjutnya, kapan kita ‘kan mantapkan langkah
‘tuk raih s’gala impian, sebuah “negeri di awan”
(Ibu sudah terlalu lama menanti pertiwi menggeliat)


SEJAK LAMA KITA TELAH CACAT
Karya : Abdul Azis Sukarno

Terlalu sering kita berjalan dan tersesat
Terlalu sering kita lukai kaki kita sendiri
Mau kemanakah kita sebenarnya?
Kenapa harus ada tujuan dan kita harus meyakininya?

Hidup dan hiburan sepertinya tidak bisa diceraikan
Memisahkannya berarti sendiri dan mati

Lihatlah, bagaimana kebohongan menjadi kawan
satu-satunya?

Dunia adalah sarang jebakan dan perangkap
untuk kita selamanya, harapan mampu berlari kencang
adalah sikap aneh dan menyedihkan
marilah kita menololkan diri habis-habisan, atau
memintarkan diri kita dengan banyak kebodohan

jangan percaya, bahwa kita lebih hebat dari siapapun
jangan percaya, bahwa masing-masing diri memiliki
kelebihan. Itu hanya gejala 1 persen + 99 keberuntungan

ingat, kita telah lahir dalam keadaan cacat
cacat melihat, cacat mendengar, dan cacat merasakan
kebenaran ! kita semua adalah produk cacat mental
sehingga, tak perlu heran, bila kita lamban dalam segalanya

dunia adalah pusat aborsi
bagi kandungan pikiran-pikiran besar kita
pusat rehabilitasi yang tidak efektif bagi pecandu-pecandu
seperti kita yang gemar menghisap mimpi

ayo menangis dan tertawa,
untuk merayakan ketidaktahuan kita akan arti
dari sedih dan gembira
ayo bangun dan tidur lagi
toh kenyataan dan bukan kenyataan adalah sama saja!



RAHASIA API, SALJU, DAN DIRIKU
Karya : Abdul Azis Sukarno

Rahasia api ada dalam panasnya
Rahasia salju ada dalam dinginnya
Rahasia diriku ada dalam cinta

Panas, dingin, dan cinta tak bisa diurai dengan apapun
Kecuali dengan merasakannya

Dekatilah api, jika kau ingin terbakar hangus
Dekatilah salju, jika kau ingin menggigil beku
Dekatilah diriku, jika kau ingin bahagia selalu

Terbakar, menggigil, dan bahagia, bukan penyebab siapapun
Melainkan kitalah yang memilihnya
Kitalah yang menciptakannya
Kitalah yang membuat mereka benar-benar ada

Rahasia api, salju, dan diriku adalah rahasia hidup
Yang mesti engkau singkap
Dengan binar mata hati seorang penyingkap
untuk menemukan seberapa tebalkah
tabir misteri yang meliputinya



KECUALI MEMBANGUN SARANG
Karya : Abdul Azis Sukarno

Kecuali membangun sarang,
Aku suka hinggap dari satu dahan
ke dahan yang lain, di pohon yang berbeda
Seperti halnya burung-burung yang kau kenal
pada umumnya
Meloncat-loncat menikmati takdir
Sebagai makhluk bersayap, terbang, memasuki hutan-hutan
Melintasi pegunungan, mengangkasa, bercericit ria
Di bawah terang langit dengan kesungguhan
Bahwa mungkin inilah hidup yang ku pilih itu

Kecuali membangun sarang,
Aku singgahi tempat-tempat yang bisa membantuku
Merasa terhibur dan tidak sia-sia
Menjadi pencari, pemburu, dan pencinta sesuatu
Yang barangkali aneh bagimu, juga aneh bagiku
Mengepak sana mengepik sini
Berhenti sebentar lalu bernyanyi lagi, lagi, dan lagi
Hingga begitulah, aku menghindari kecemasan pagi, siang, dan
Sore hari dengan menjadi pengelayap seorang diri

Kecuali membangun sarang,
Aku bergerak, dan terus bergerak
Mengejar apa yang ingin ku kejar
Menangkap apa yang ku tangkap
Melabrak apa yang ingin kulabrak
Melesat jauh dan dekat ke arahmu, kearahmu
Ke arahmu, hai keajaiban semesta



DAMBA HATI SEBUTIR DEBU
Karya : Reza Mahaputra Adipratama

Makasih ya, Ko…….
buat tangan yang terulur
makasih ya, Ci’
buat welas asih yang kau tabor

tapi,
mengapa cuma sesaat
smua sapaan cintamu itu?


Kemanakah cinta
Di hari-hari yang kita jelang?

Tolong……
Kami lelah menyambung hidup
Di bawah terik mentari

Tolong…..
Kami rindu bermain dan sekolah
Sama seperti teman-teman

Ko, hidupkanlah
Tulang-tulang kami yang tlah kering
Ci, dekatkanlah
Surga yang semakin jauh itu

Berdayakan kami
Topang kami
Dorong kami

Agar kami bangkit
Agar kami bisa melawan
Agar kami bisa bebas
Dari kemiskinan yang melingkari pinggang kami

Ci’……..
Ko,……
Taburlah cinta
Niscaya cinta ‘kan kau tuai



HAKIKAT PERBEDAAN
Karya : Maskur Adi Tarbiyanto

Segala yang ada di dunia ini
Pastilah tidak sendiri
Selalu diciptakan berpasangan
Meski terlihat berlawanan
Namun justru saling menguatkan
Kanan-kiri, hitam-putih, yin-yang, lingga-yoni

Demikianlah,
Alam telah mengaturnya

Semua makhluk di dunia
Mutlak berbeda-beda
Demikian juga manusia
Bersuku-suku, berbangsa-bangsa

Demikianlah,
Alam telah mewujudkannya

Tak sebutir peluru pun
Bisa membuat pelangi
Hanya menjadi satu warna
Tak sebilah pedang pun
Bisa memaksa mulut bersuara sama
Bahkan dalam paduan suara
Ada suara satu, dua dan tiga
Tak ada satupun kekuasaan manusia
Yang bisa menjadikan warna kulit
Hitam semua,
Putih semua,
Atau kuning semua

Karenanya
Biarkan pelangi tetap menjadi pelangi
Menghiasi bumi
Dengan warna warninya

Biarkan mawar tetap menjadi mawar
Memperindah semesta
Dengan harumnya

Karena demikianlah
Alam telah mengaturnya



ILMU
Karya : Doni WS

Ku buka buku helai demi helai
Ku baca kata demi kata dengan hati
Ku tulis semua makna dan arti

Ilmuku tak terasa berat ku bawa
Ke ingin tahuanku tak malu bertanya
Biar semua tahu itu apa
Biarku jawab itu semua
Karma ku tahu itu jawabannya

Otaku tak ingin beku
Pikiranku selalu ingin tahu
Karena pengetahuanku aku jadi lugu



S A T U
Karya : Ismail Marjuki

Kita semua satu atap
Tak ada yang diatas
Tak ada yang dibawah
Tak ada lain lubuk lain ikannya
Semua lubuk ikannya sama
Jika engkau paham!

Kita semua satu warna
Tak ada yang kuning
Tak ada yang coklat
Tak ada yang putih
Tak ada yang hitam
Tak ada manis tanpa kehadiran pahit
Jika engkau paham!

Kita semua satu arah
Tak ada yang kekiri
Tak ada yang kekanan
Tak ada yang didepan
Tak ada yang dibelakang
Kita semua satu harapan
Jika engkau paham!



AKU INGIN PULANG
Karya : S. Retno Indaryanti (Lie Phan)

Dulu……
‘Kalau saja…….mungkin sekarang……’
‘Seandainya……barangkali saat ini…..’
‘Seharusnya ……jadi kita sudah……’

Aku mengetuk jendela kamarku
Meruntuhkan salju yang menggunung
Memberikan panorama yang bersih, putih
Memberikan keamanan jiwa ragaku……
Betapa bedanya dengan negeriku yang penuh warna

Aku merindukan hijaunya permadani sawahku
Aku merindukan bau amis pantaiku
Aku merindukan sejuknya pegununganku
Aku merindukan suara-suara pedagang pasarku
Aku sungguh merindukan negeriku……

‘You miss something, Dady?’ aku diam saja
‘You will go home, Dady!’ akupun diam saja
Gadis kecil pirang ini memberikan tissue,
untuk menghapus deras air mataku,
karena aku tidak punya jawaban………

aku memasuki gedung megah bertingkat puluhan,
menuju loket dan mengeluarkan tanda diriku,
‘Are you Indonesia, Sir?’ sepercik senyum asia menyapaku
Aku tertegun sejenak…… (mengangguk dalam hati?
‘No!’ suaraku menikam jantungku…..

Kalau saja dulu…..


NOSTALGIA BOCAH INGUSAN
Karya : Ria Mustika Fasha

Raut nanar langkah berderap dalam subuh yang sunyi
Obar-obor terangi cercah kegelapan karena fajar belum terjaga
Obrolan santai para santri di mushola kecil menggema
Pecahkan aura sepi di seantero jalan Lumpur kolong jembatan
Anak ingusan terpaku dalam percikan lampu jalanan
Melawan amukan kerajaan cacing dalam sepekan
Dan ia tertidur dalam angan

Rajutan evolusi telah coba resuki otak-otak kecil yang kian terpolusi
Menyeruak di antara kerlipan genit bintang dan rembulan
Di langit kelam jauh membumbung

Lentera yang temaram di ujung lorong
Tak kuasa mengarak jiwa tersesat itu kembali
Karena asanya terlalu senja tuk dirangkai
Harapan dan mimpinya telah dijarah zaman

Tanjakan bebatuan terjal telah buatnya terseok
Deraian kaca penuhi loker kecemasan
Matanya sayu
Menorah nanar dalam saku yang kerontang

Remang penantian……teman karib hidupnya
Berontak…….ingin ia katakan matanya telah sakit untuk menitikkan air mata
Tapi yang ia tahu, teriakannya takkan sampai pada kursi-kursi bapak berdasi

Malang…….
Kini semua hening….
Subuh tetap sepi
Gerimis jadi deras
Tanah kembali berlumpur, kardus tidurnya jadi basah
Cobalah tuk mengerti, bahwa tak ada sinar tuk terangi malam ini

?
Karya : Anas

Mengapa mereka masih tinggal dikolong jembatan
Mengapa mereka masih terlantar di jalanan
Mengapa mereka masih bergubuk
Mengapa…..tuan
Dibiarkan terserak begitu saja
Bukankah sudah ada reda buat mereka

KKN
Karya : Nasrullah EmHa

Setiap hari dibahas
Tapi tak pernah tuntas
Malah makin meluas


SURAT BUAT NADA
Karya : Nasrullah EmHa

Katamu,
Guru itu harus digugu dan ditiru
Tapi, kalau berdebu
Apa masih disebut guru?
Lantas…….!



KEK, KENAPA INDONESIA
Karya : Amsho

Kek,
Di tanah yang engkau
bilang Merdeka
di daerah yang engkau
anggap jaya

kulihat langit tiang bangsa

tak ada kibar bendera
hanya suara derita bencana
sebab banjir, longsor masih tersisa
rongrong lapar

Kek,
Mungkin ini langka
Bagi tetangga sebelah kita!

CHANNEL BELANTARA
Karya : Nada Indana

Layar kata-layar makna
Jejeran telenovela tentang senja
Terbakar oleh surya, serta kicau
burung gereja.

Layar udara-layar mega
Deretan opera tentang ronda
Ronda metropolitan telah sirna
Saat mentari pergi tanpa sidik jari

Berita pagi : jam 06.07. seorang pejabat mabuk dalam
taksi, sebab jari, sibuk menghitung istri dan gaji.
Berita sore : jam 05.06.para korup lari, tapi polisi
membiarkan jejak kaki.
Berita malam : jam 12.01. adalah masih gadis bali
dicabuli turis, manca celana.

Layar seluruh fenomena
Cerita tentang pohon tumbang dan reranting
bayang bayang keruh. Membiarkan
sungai tergenang resah.



PESTA BAU NYALE
Karya : M. Hasan Sanjuri

Awan menjelma jamur di langit senja, obor-obor sudah mulai menyala. Sebentar lagi film layar tancap akan diputar. Sepasang terune dan dedare melayarkan perahu dari kulit semangka. Tawanya sangat riang seperti kebahagiaan seorang putra mahkota mempersunting permaisuri yang datang dari istana yang jauh. Seribu laba-laba membuat sarang di pohon akasia. Akankah pesta malam ini dimeriahkan oleh pelecing kangkung, sepiring beberok atau sebungkus kaliadem?

Dingin membatu di kulitku “di mana wayang kulit, di mana gendang belek?” malam semakin tebal di hatiku. Kucoba menyimpan dongeng nenek moyang pada batu-batu, pada bening air laut, dan pada reranting yang patah dengan sendiri.

Putri mandalike! Terasa tangismu masih terdengar antara batu-batu karang dan debur ombak yang hampir hilang. Seorang nelayan tua di pantaimu berkisah pada puteranya tentang wajahmu yang belum pudar dalam mimpinya, tapi ia bukanlah aku bukan pula Datu Pejanggik yang selalu ditunggu.

Matahari pucat pasi di laut selatan, dan pesta yang dinanti telah datang. Lentera-lentera kecil menyala, asapnya membumbung menembus batas cakrawala. Segerombolan kunang-kunang mendinding malam. Pergantian siang dan malam terlalu kental dalam luka, tamu-tamu asing mendirikan tenda dipantaimu sebagian lagi sedang bercinta dalam selimut sutera merah tembaga. Barisan pedagang jagung bakar tersenyum menawarkan harga, mereka tidak paham kemerdekaan. Mereka tidak mengerti cita-cita.

Pesta Bau Nyale : Pesta menangkap nyale (sejenis cacing laut berwarna hijau keemasan) yang diyakini oleh warga lombok sebagai jelman puteri Mandalika yang menceburkan dirinya ke laut saat diperebutkan oleh beberapa pemuda
Terune dan dedare : pemuda dan pemudi
Plecing kangkung, beberok, kaliadem : makanan khas Lombok
Gendang Belek : alat tabuh
Datu Pejanggik : Nama raja yang pernah berkuasa di daerah Lombok Tengah



KUNYANYIKAN INDONESIA
Karya : Lukman Asya

Kunyanyikan Indonesia Raya di tengah terik matahari
Di suatu jalanan aspal yang mengisahkan rasa kecewa
Tapi tenggorokanku serak; suaraku sember; mataku berkunang
Kubayangkan dalam rasa pening-pusing, tanah tumpah darahku
Menjadi sia-sia: Ada wjah-wajah Dasa muka, tak segan ia
Mengutip pajak dari setiap butir kepala jutaan anak negeri yang miskin
Lagi maha papa. Ada kolong-kolong jembatan penuh bercak
Ada rumah-rumah kekuasaan yang angker penuh hantu
Yang mengkritik; banyak bingkai pertengkaran
Dan jendela-jendela yang membiarkan segala tipu daya
Ada sungai-sungai mengeluh karena pemandangan kumuh
Di pinggir aliran, nyiksa dada jadi sesak. Ada jiwa-jiwa
Yang terhimpit beban hukum; ditindas kebijakan-kebijakan
Ada hutang-piutang melejit; harga-harga menjepit;
Janji-janji penguasa melangit, ekornya membelit
Tangan dan kaki penyair yang ingin berlari
Dengan sepeda kumbangnya meninggalkan ratu catur yang serakah
Tapi penyair menjadi nasib sicacing kepanasan di atas jalan
Hanya menggeliat-geliatkan sajak kepalsuan

Kunyanyikan Satu Nusa Satu Bangsa
Sebagai salam erat semangat bagi para penumpang yang terhormat
Tapi tegak dan sempoyonganku tak kuasa disebut pahlawan
Aku hanya sahabat si gitar jelek. Celanaku rombeng lagi kucel
Ditampar keadaan. Aku urung jadi pandu sang bunda
Selalu terbayang bahasa dan bangsa berjalan tanpa pertikaian
Korupsi dan kolusi hidup bergandengan
Aku merindukan tangan-tangan pendekar cahaya

Kunyanyikan bagimu negeri di antara kerumunan
anak-anak sekolah. Tapi takut dikutuk bapak guru
Dan jiwa ragaku terlalu kerdil untuk menyucikan nama ibu
Yang maha pertiwi.Tapi apa artinya kekerdilan di sebuah negeri dengan seribu bank duka-lara dan seratus baitul-mal kemelaratan
Sementara orang-orang berdasi yang hatinya kerdil asyik duduk
di belakang meja di kursi-kursi pemerintahan dimana sengkarut keadilan dan ketidakadilan dibonsai
Pengabdian dan baktiku barangkali hanya debu. Kesedihan-kesedihanku
Adalah nyanyian si fals yang terlunta. Kehilangan anak-anak kebijaksanaan.

Kunyanyikan Garuda Pancasila di antara jutaan pasang mata
Yang mengintip harta. Tapi mata burung itu penuh api mencemoohku
Sebagai si lemah yang fakir. Menuding para bangsawan istana sebagai si kafir
Dan sayap burung itu mengepakkan kedukaan-kedukaan yang sunyi
Duka milik perempuan yang menabung di balik celana dalamnya. Duka
Yang dicipratkan di wajah-wajah tukang parkir. Duka yang dibawa
Pedagang-pedagang asongan. Duka yang hinggap di kaleng-kaleng pengemis
Duka yang menggambar tato di dada preman-preman kegelapan. Duka
yang tertulis di kening kemurungan ibu.
Apakah kaki burung itu mencengkram harap untuk dialamatkan
pada turis-turis, pada pemuka agama pemilik permata hati, pada jiwa
yang masih mendengar jeritan batin anak-anak tukang becak yang terluka?

Kunyanyikan Gugur Bunga di hari merdeka
Tapi terbayang wajah-wajah pahlawan menyelinap di batu-batu nisan
Memendam muram. Hatiku jadi gentar untuk melangkah
Sambil memetik gitar. Barangkali para anggota DPR akan merayuku
Meminjam gitarku. Tapi sungguh aku telah sakit hati!
Senar-senarku yang bergetar bukan untuk menipu cahaya
Dan memperdaya suara-suara yang tersiksa. Senar-senarku
adalah jiwa yang bertempur melawan musik politik
Yang dipetik oleh tangan-tangan kekuasaan yang mikirin diri sendiri
Biarkan aku menyanyikan sakit dan luka; karib dengan nasib
suara logam kencringan. Aku ingin menghibur jiwa
yang didalamnya sayap kupu-kupu terbakar. Kupu-kupu
yang pernah hinggap pada guguran bunga itu

‘BETUL KATAMU KAWAN’
Karya : Badrut Tamam

Dari urat dan semak belukar
Kutempa perapian dengan nada kesungguhan
Dari selembar kehidupan yang terhampar
Tertulis kata dengan mozaik yang tak lagi datar
Lalu sesekali langit di ubun-ubunku mendung
Yang tak lagi tahan kubendung
Sementara panah air meluncur
Menyayat dan menyapu di ujung peraduan

‘Betul katamu kawan’
Api tak selamanya harus berkobar
Sesekali dia akan redup atas pagi yang sayup
Dan akupun merasa kalut
Karena sunyi adalah ketenangan yang merentas
Menyelubungi jiwa saat kehendak

Sekali lagi betul katamu kawan




DARAH DAN CELURIT
Karya : LUTHFI ARDY PRASTYO

Oh, ia menusukmu dengan celurit
Engkau berteriak lalu tersungkup
Isi perut terburai, mati

Seminggu telah lewat
Orang bertamu membawa bunga
Dan air mata mengenangmu yang telah hidup abadi

Hari ke empat puluh
Engkau telah kekal terkenang abadi disebuah papan
Nisan kuburan, yang bertuliskan namamu

DEBU DI KACA JENDELA NEGERIKU
Karya : Ahmad Shodiqil Hafil

Seperti Da Vinci ku lukis Monalisa pada debu-debu
di kaca jendela negeriku. Pada sisa abu
Kematian garuda di tingkap beringin. Di tangga-tangga sejarah
kekuasaan lebih agung dari pada sabda angin yang berkesiur
di bawah bendera kata-kata mahasiswa. Di TV dan Koran-koran

Kulihat iklan-iklan moral berlarian. Saling menyihir manusia-manusia
Seperti aku yang lugu dan hanya termangu
Melihat bintang-bintang dan bulan berjatuhan di altar negeri pancasila
Hingga tak ada lagi anak-anak merengek sambil bernyanyi
Ambilkan bulan bu…..
Karena di negeri ini rambu-rambu hukum selalu bisu.

Ada satu yang membuatku tergelitik. Ketika para pemimpinku menjadi
Badut-badut berperut buncit dengan wajah menor. Tapi
mereka betul-betul menjadi badut selamanya, karena di negeri ini
cermin-cermin tak dapat dipercaya. Terlalu banyak kucuran
yang mengalir hingga badut-badut itu selalu melihat dirinya sebagai pahlawan

Di sini aku dan rakyat kecil lainnya hanya bisa tersenyum palsu
Seperti burung-burung mengeroki punggung langit biru
yang tampak malah awan-awan kelabu
Dan langit akan selamanya membisu
Karena korupsi, BBM dan beras impor telah membuatnya dungu

Hingga mati kutu di pangkuan IMF atau WTO. Kalau begitu
Lebih baik menangis pilu atau tersipu malu
Daripada tersenyum palsu yang dipaksakan
Apalagi hewan yang Dewan atau dewan yang hewan
Itu tak hanya bisa bolos waktu sidang tapi malah pura-pura tuli
seperti pelawak bolot. Begitulah, sehingga negeri ini berjalan seperti bekicot.

Debu di kaca jendela negeriku semakin tebal
Dan aku tak perlu menyesal apalagi kesal
Sebab hujan pasti datang. Entah kapan

Membaca demokrasi di negeri ini seperti memasuki
labirin yang tak berujung. Tangga dan jalan berkelok dalam
lorong-lorong gelap membuat jalanku tertatih. Bahkan sesekali
pikiranku merangkak di pinggir-pinggir jalan perkotaan
Di bawah kolong jembatan
Bersama nyanyian kardus-kardus yang disulap menjadi istana kemelaratan

Tapi itu wajar, karena demokrasi di sini secara terminology
berasal dari kata Demon Crazzy. Jangan heran kalau janji-janji
dan demonstrasi yang kurang kerjaan selalu tampil di layar televisi
Dengan berbagai sponsor suara rakyat dan akting artis-artis senayan yang senang gosok gigi dengan anggaran, kunjungan, dan pembolosan
Bahkan anak-anak sekarang pun mulai belajar menganggarkan
SPP yang berlebihan kepada orang tua mereka lalu mengadakan kunjungan ke tempat-tempat dugem hingga paginya bolos sekolah dan hanya masuk saat ujian

Dari pulau berkepala burung di timur kudengar suara keciprak ikan-ikan berenang dalam genangan airmatanya sendiri. Sebelum akhirnya tenggelam
Karena luka-luka di perut terlalu lebar menganga

Di kelopak mata ibu yang mawar
Embun jatuh seperti arimata yang tawar
Melihat anak-anaknya digembalakan matahari
Dan meneguk keringat di negeri sendiri
Di tengah jalan sekawanan mahasiswa, pengangguran dan buruh ter-PHK
Melempari para pejabat dengan tinja yang keluar dari mulutnya
Bahkan warna putih di celana bendera makin kusam
Diperciki teroris-teroris suruhan setan

Debu di kaca jendela negeriku semakin tebal
Dan aku tak perlu menyesal apalagi kesal
Sebab hujan pasti datang. Entah kapan

DONGENG SEBUAH NEGERI
Ahmad Shodiqil Hafil

Aku tidak pernah tahu
Mengapa angin selalu memainkan rambutku
Saat aku duduk bersila dibawah gubuk di tengah hamparan sawah
Menatap senja tersenyum sumringah
Sebelum akhirnya tertusuk ilalang

Esok pagi mentari kembali menyapa
Sambil menyisiri pematang sawah
Mengantarku ke sekolah
Bersama sapi sapi pembajak
Bersama cangkul cangkul di pundak
Bersama wangi tanah di punggung tangan emak

Dimana aku berpaling barisan pohon hijau membelai rambutku
Rumputan pun turut membelai kaki

Setiap liburan kepada laut aku bertandang
Di bawah rindang cemara udang akupun berdendang
Bersama kicau kepodang

Dulu sepasang tangan membelai pipi
Buai angan kecilku di alam mimpi
Damailah sehati……meski hanya langit, atap itu tanpa alas kaki*)

Saat itulah ombak mendongeng
Tentang negeri yang lautnya biru langitnya biru
Setiap mata memandang pepohonan rindang ramah menyapa
Bahkan pasir pasir pun tahu
Itulah ibuku


I-N-D-O-N-E-S-I-A

Tiba-tiba aku terhenyak, terhentak dan terbelalak
Ibuku tak lagi tersenyum
Duduk di serambi sambil memangku tangan
Melihat pelangi tanpa merah putih dan garuda yang menggigil
Dengan bahasa angin daun daun beringin membujuknya

Indonesia…..Indonesia……
Tersenyumlah ibu tersayang
Negeriku Indonesia……Indonesia
Keringkanlah air mata duka
Esok untuk kita*)

*) adalah penggalan lagu “Indonesia Jangan Bersedih”, yang dinyanyikan Amanda Rachel

SURGAKU AIRMATA NEGERI
Karya : Ahmad Shodiqil Hafil

Aku tidak tahu harus melihat Indonesia dari mana
Aku hanya tahu di negeri ini ada banyak gubuk
Berbaris rapi di tengah-tengah dan di pinggiran
Surga Jakarta, surga Surabaya
Dan surga-surga lainnya yang hanya bisa dimasuki
Dengan tertawa-tawa di dalam awan ber-ac
Yang dikiranya ada pesan dari Tuhan
Entah Tuhan yang mana

Di bagian tengah bus kota jari-jariku bergelantungan
Aku mencium beraneka ragam parfum alami

Yang diproduksi oleh setiap orang yang berbeda-beda
Ada rasa manis, asam, asin bahkan pahit
Belum lagi aroma dusta yang menjadi wangi semerbak
Karena mengatasnamakan melati
Melati yang dicat hitam

Di jalan-jalan, banyak rambu-rambu
Yang tidak pernah dilihat dan dipatuhi
Bahkan oleh polisi pun tidak
Rambu-rambu itu terpasang secara otomatis
Dan hanya berwarna hitam
Bahkan di sepanjang jalan sudah berdiri
Lampu-lampu hitam

Lantas mengapa mereka hanya mematuhi lampu merah

Seharusnya selain merah, kuning dan hijau
Mereka melihat lampu hitam
Yang mengingatkan kita pada isak tangis anak-anak kecil,
Pada kaki-kaki tak beralas, pada nyanyian kelaparan,
Dan…..dan……

Bersama Tuhan yang sebenarnya
Aku berjalan, menghitung-hitung jumlah garis-garis putih
Di tengah jalan menuju istana
Hingga akhirnya aku menemukan surga airmata

Ah, biarlah negeri ini terbuat dari airmata
Toh akhirnya tetap menjadi surga bagiku

ANGLE
Karya : Ananda Tyas Munawaroh

Lihatlah aku secara keseluruhan! Bukan dari atas atau bawah, bukan juga dari depan atau belakang. Sudah berkali-kali kukatakan, tapi mengapa kau lebih senang melihatku dari sisi kiri? Ya, mungkin kau lebih senang memandangi andeng-andeng yang melekat di pipi kiriku. Dan setelah kau puas memandangiku dari sebelah kiri, kau akan menghujaniku dengan jutaan caci maki lalu kau berlalu begitu saja. Aku terpaku sambil bertanya dalam hati, mengapa kau lebih suka melihatku dari sebelah kiri?



SARA JADI BANGSA
Karya : Rusydi Hikmawan

Dulu kami terkotak
Sukuku sasak
Sukumu batak
Sukunya dayak

Pun sempat tercerai
Aku muslim
Kamu kristiani
Dia budha

Mustahil bersatu
Darahku tionghoa
Kamu pribumi
Dia berdarah India

Kini kami memahami, telah
Berbangsa Indonesia
Bertanah air Indonesia
Berbahasa Indonesia

Kami pun menyatu

PATTIMURA
Karya : Ghufron Ahmad

Berjaga dibalik matiara dan tidore
Pattimura risau menyandang pedang
Kumis berjamur tak sempat dicukur
Demi seribu rupiah yang kepadanya di titah

Tak tidur, tak menutup mata
Tersebutlah Pattimura tahu segalanya
Dari belahan susu hingga kulit buaya
Dari gubuk lesu hingga istana cahaya

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
Seribu adalah harga sebuah nyawa?

NEGERI
Karya : Ghufron Ahmad

Pelangiku punya delapan warna
MeJiKuHiBiNiu, dan satu lagi : kamu




AKU TERSUNGKUR
Karya : Galuh Candra A

Ku tersungkur disini
Tuk kesekian kalinya
Apalagi yang bisa kubanggakan lagi

Hilang semua yang ada
Meski tetap utuh jasad ini
Tak kan bisa mengobati

Remuk redam hati
Terpecah berkeping-keping hingga menjadi serpih betebaran
Yang lelah berkelana
Tuk cari petuah
Yang entah kemana perginya

Sudah tak kuasa lagi
Kulihat negeri ini
Yang dulu bak elok permadani
Hijauan terhampar dimana-mana
Entah kini menghilang kemana

Semua tampat gersang
Mati, kelaparan hingga melanda
Tsunami menerjang
Manusia tersakiti tak terperih

Namun tetap saja pemimpin negeri ini bungkam
Bungkam kemanusiaan
Bungkam kesadaran
Bungkam pikiran
Hingga bungkam nuraninya

Mata tak lagi jerih
Laku tak lagi peduli
Hati tak lagi hirau
Semua tertutup “uang”
Benda awal bencana negeri ini

Sengsara tiada akhir
Karena “uang” sudah merajai dari tiap langkah pemimpin negeri ini
Tak kan bisa dia tinggalkan karena demi pula kekuasaan

Hingga pada cerita mengerikan dari alam bawah sadar
Krisis ekonomi
Krisis moral
Hingga krisis kepercayaan


Korupsi
Bencana besar era baru
Versi negeri ini

Pemimpin tertawa
Rakyat terlunta
Matipun tak mengapa

Negeri lain mencerca
Tetap saja berlaku
Penguasa di atas segala-galanya

Tak lagi cerdas generasi ini
Pendidikan telah terkorupsi
Tak lagi bersih hati ini
Agama telah coreng-moreng

Tak lagi sehat badan ini
Kesehatan berbalik jadi pesakitan
Siapa lagi mau peduli
Negeri ini berteriak serak
Kehabisan akal
Terlulai

Maukah bangkit
Adakah asa di sana
Di mata generasi peduli
Generasi putih

Tersungkur ku disini
Menghiba tulus
Menetes air mata
Mengharap doa terkabul
Meminta pada Rabb manusia negeri ini

Pinta untuk sejahtera
Pinta untuk adil
Dan pinta untuk ketulusan hati para pemimpin


BANGKIT?
Karya : Ridha Widiawati

Bangkit?
Kau minta aku untuk bangkit?
Itu mudah!
Kalau saja kau singkirkan
Kaki dan pantat busukmu
Dari wajah melaratku ini!
Jelek-jelek begini, aku bukan keset!
Atau samudera spetinktank
Aku tak sudi jadi TPA
Sementara istana-istanamu berderet di atas awan…..

Bangkit? Itu tidak sulit!
Apapun dalam hidup tidak sulit
Karena Tuhan tidak Maha pelit
Justru apapun menjadi sulit
Tatkala watak capital-liberalis-licik-mu itu
Kau kembangbiakkan!
Dan sim salabim!
Sekejap saja…..
Kebangkitan teknologi yang kau keramatkan itu
Malah menelanjangi multilevel kejahatan
Yang kau timbun dalam-dalam
Dibalik olah lidah munafikmu!
Huh! Pasti ularpun terlalu jijik
untuk mematuk onggokan daging haram
yang hanya becus mengobrol kampanye sekaligus mendefisitkan anggaran
seperti kamu!

Bangkit?
Sampai kiamat pun aku akan terus sekarat terlindas
Atau berjamah terkubur hidup-hidup oleh longsoran tanah-tanah tandus
Yang kau perkosa dan gunduli dari hulu ke hilir
Atau mati kelaparan karena sawah-sawah terendam banjir-kiriman, hutan-hutan
yang kau gadaikan pada komplotan imperialis-materialistis itu!

Selama udara yang ku hirup
Dicemari gas kentut politik plintat plintutmu itu!
Kelewat najis!
Kelewat mugholazhoh!

Iblis saja masih punya rasa malu
Iblis pasti kocar-kacir ketakutan
Jika harus menjumpai spesies pemuja ega privat tercanggih seperti kamu!
Yang lebih rakus dari Qarun
Lebih kejam dari Fir’aun


Benar-benar makhluk terdungu-terhina-sepanjang masa yang pernah ada!
Semoga musium khusus untukmu sudah jadi
Di alam baqa sana,
Supaya aku dan keluargamu tidak perlu repot-repot mati bunuh diri…..

Ah, belum sadar juga ya?
Kaulah benalu kebangkitan itu!
Kau angkat dagumu seolah-olah kaulah Tuhan yang harus kusembah!
Padahal Tuhanku saja yang berhak, tidak pernah seperti itu!

Bangkit?
Ya, kapan terakhir kau ingat hari Berbangkit?

P R O Y E K  M E R U B A H  N E G E R I
Karya : Patria Nur Bani

Mencumbu anak-anak negeri, berharap menjadi matahari
Seperti rakyat yang tak pernah kehilangan arahnya
Martabat korupsi seperti infotaiment
Panen-panen kerakusan kian mensumsum
Tercermin di dalam sel tahanan

Diberinya aku segumpal keberanian
Yang kira-kira luhur, etis, baik
Atau jika perlu yang terasa heroik
Pernahkan kita sedikit menentukan
Lebih dari sekedar ditentukan?

Pimpinan kita amatlah pintar
Membendung segala tindak, dari mulut kami
Terlalu dini untuk bilang punya kemerdekaan
Selama kita takut lapar, mabuk keurakan dan kekuasaan
Bisakah kita duduk berdampingan
Tanpa membeda-bedakan warna, ras, golongan?

Semestinya yang di bangun adalah kesimbangan
Bukan ketimpangan, kemelaratan
Bisakah anak negeri ini merubah kiblat Indonesia?
Jangan sampai dalam ketimpangan, engkau limbung.




Sudah Saatnya...
Karya: Melody Muchransyah

aku rasa sudah saatnya kita bergerak
terlalu lama kita lumpuh akan kesemenaan
aku rasa sudah saatnya kita bicara
terlalu lama kita bungkam akan ketidakadilan
aku rasa sudah saatnya kita berontak
terlalu lama kita turut akan kesintingan

ayo bergerak bicara berontak
marah,
marahlah!!!

kenapa tak berani kita ungkapkan secara blakblakan kebusukan demi kebusukan yang telah sama-sama kita endus?
kenapa perlu takut mengatakan secara terus terang dusta demi dusta yang telah kita koyak satu persatu?
kenapa diam seribu bahasa tatkala borok demi borok terbuka jelas-jelas di depan mata kita?

ayo bergerak bicara berontak
marah,
marahlah!!!

Jangan mau lagi dicocokhidung
jangan mau lagi dibodohbodohi
ini reformasi
bergeraklah
bicaralah
berontaklah
lakukan semua demi negeri


Perjuangan Tak Henti Sampai di Sini
Karya: Melody Muchransyah

perjuangan tak henti sampai di sini
ranah masih membara
darah masih bergejolak
teriakan masih terdengar di manamana
tanah merdeka ini masih saja dihantui manusiamanusia tak tahu diri
mengatasnamakan reformasi
tapi bertingkah layaknya babi
kebebasan justru bukan bebas sebebasbebasnya
saat inilah saat di mana kebebasan telah dikungkung di bawah pekikan palsu yang menjeritkan kata ”merdeka”

perjuangan tak henti sampai di sini
tanah ini masih butuh kita
jangan pernah lelah
kita masih harus terus berjuang

Menjadi Pejuang
Karya :Taufiq Ht.

Akankah kau menanyakan
Sehabis mandi sesudah sarapan
Tentang perabot tubuhmu di depan kaca
Tentang bola matamu
Lubang telinga
Bau mulut
Jari-jari tangan
Sampai matakaki

Sebelum kini kau benar-benar merapikan
Sekali lagi bersihkan segala perabot tubuhmu di papan kaca
Lihatlah di seberang kaca di halaman belakang
Tampak punggungmu seperti ladang
Banyak peladang rumput dan ilalang
Dan bersegeralah sebelum siang
Barangkali untuk berpetualang menjadi pejuang

Ya, tentang perabot tubuhmu yang terpampang di dalam kaca
Selalu saja ingin kau bersihkan:
Namun dimana bola mataku
Hati dan telinga
Dua tangan
Dua kaki
Dan selebihnya, tak habis-habisnya aku menanyakan


Doa Terakhir Seorang Koruptor
Karya : M. Adi T

Tuhan,
Ijinkan aku berlutut di depan-Mu
dan berdoa
Karena aku yakin
Engkau Maha Mendengar doa-doa
semua makhluk-Mu
meski ia penuh dosa seperti aku
(Bulan di angkasa
Cahayanya kuning emas
Berpendar menerpa jeruji penjara
yang kaku dan dingin)

Tuhan,
Inilah malam terakhirku.
Besok saat matahari sepenggalan naik,
satu regu tembak
tlah siap mengakhiri hidupku.
Aku akan segera menghadap-Mu,
meninggalkan semua milikku, hartaku dan keluargaku.
Dan yang paling berkesan
kutorehkan jejak abadi :
mati sebagai koruptor

Terima kasih Tuhan
karena aku tertangkap dan dipenjarakan
hingga aku bisa berkata jujur kepada diriku sendiri
saat ini
Setelah bertahun-tahun aku tutup mataku,
setelah detik demi detik dalam hidupku
aku tipu nuraniku
(Bulan di angkasa
Nyalanya meredup
Ditutup awan gemawan)

Aku kesepian Tuhan
Kemana kerabat yang dulu
mengelu-elukanku?
Kemana keluarga yang dulu
membanggakanku?
Kemana sahabat yang dulu
bersumpah setia kepadaku?
Apa mereka sedang berduka atau justru tertawa?
Ah, apa bedanya
Duka dan tawa hanya sepenggal kisah
yang tak kan merubah kenyataan :
aku akan mati sebagai koruptor

Ya,
aku memang koruptor
Sudah kuakui semua ini
di depan jaksa, juga media massa
dan sekarang di depan-Mu yang Maha Perkasa
Aku memang koruptor
tapi aku bukan pengecut dan munafik
yang lari atau sembunyi

Bahkan aku beberkan semua bukti-bukti
yang selama ini mereka tutup-tutupi
dengan menyuap para saksi.
Selalu saja mereka melakukan itu;
memberi kesempatan orang untuk korupsi
kemudian saling berebut minta dibagi
seperti anjing berebut tulang basi.
Cih!
(Bulan di angkasa
Lenyap seluruhnya
meninggalkan gelap yang menganga)

Tuhan,
Kuakhiri doa terakhirku ini
Ijinkanlah aku memasuki sorga-Mu
Sambil kubawa najis dan dosaku.
Berapa keping yang harus kubayar
untuk mendapat satu kapling
di sorga-Mu?
Amin.


SATU
Karya : yopi kurniawan

Si Kaya duduk santai
Bercengkrama di depan televisi
Menikmati aneka macam hidangan
Sambil menghitung kekayaan
Si miskin tidur melingkar
Menahan dingin dan lapar
Meratapi hidup kekurangan
Mengharap belas kasihan
Tiba-tiba.....
DHUAM... !!!!
Bencana itu datang mengejutkan
Memporak porandakan seisi kampung
Kini, si kaya dan si miskin berdampingan
Isak tangis pilu terdendangkan
Tak ada lagi suasana terbedakan
Mereka menyatu hati dan rasa sebagai KORBAN
Semua berbaris bersama
Mengusung rasa persaudaraan
Atas nama kepentingan bersama
Memohon datangnya bantuan
Satu darah
Satu Jiwa
Satu Raga
Sebagai satu bangsa

Haruskah datang bencana
Untuk dapat menjadi satu
Haruskah ada air mata
Untuk dapat saling bantu
Satu bangsa adalah satu
Tak ada ras, suku dan agama terbeda
Satu bangsa adalah satu
Saling membantu dan menjaga




ANTARA
karya : Issoykhun Supratmi

Antara dua mata
ada sisi yang tak tertatap
Menangis dalam keluh
berjalan kian jauh

Antara dua hati
ada sisi yang tak terpanggil
Berduka dalam riuh
menangis tanpa jenuh

Antara dua waktu
ada sisi yang tak terjamah
Pergi kian jauh
berlalu tanpa deru

Antara dua jalan
ada sisi yang tak tertempuh
Dalam luput kian lusuh
menuju arah tanpa impian

Antara kau dan aku
ada sisi yang tak tersentuh
Dalam hidup tak pasti
menerobos lorong-lorong kumuh.


PERUBAHAN
karya : Sri Lestari

Hari berganti menitpun berlalu
Siang menjadi malam
Gelap menjadi terang
Semua berubah, semua berganti

Harga bensin semakin tinggi
Beras tak terbeli
Pengangguran tak terkendali
Rakyat kian tersisih

Semua berubah, semua berganti
Hanya satu yang tak berubah di sini
Hanya satu yang abadi
Mental tikus pemimpin negeri

Kapan mereka kan mengerti
Hidup ini tiada abadi
Kapan mereka kan perbaiki diri
Bersihkan hati memimpin negeri

Tanah Tumpah Darah
karya : Ganda Cipta

Tumpah berdarah darah
Tanah tanah tumpah
Darah tumpah
Tanah darah
Bertumpah
Berdarah
Bertanah
Di sini
Erat kupeluk
Hidup dan mati



KUTULISKAN SAJAK UNTUK IBU PERTIWI
Karya : Ganda Cipta

Wahai ibu pertiwi
Di atas tanahmu aku berpijak
Di bawah langitmu aku berlindung
Dari panasnya perbedaan di sekeliling tubuhmu

Ibu pertiwi
Aku rindu wajahmu dulu
Aku kangen senyum ramah itu
Bikin aku tetap cinta kamu

Pertiwi negri ini sudah dikotori
Tangan-tangan luar masuk mencampuri
Perbedaan yang kita punya kini tinggal mimpi
Persatuan yang erat sudah mati suri

Ibu pertiwi
Kini saatnya kita bersatu lagi
Dari perbedaan-perbedaan dulu
Yang membuat namamu besar
Dimata negeri


Ayo bangkit ibu pertiwi
Bangkitkan bangsamu untuk bersatu lagi



Tanah Tumpah Darah
Karya : Ganda Cipta

Tumpah berdarah darah
Tanah tanah tumpah
Darah tumpah
Tanah darah
Bertumpah
Berdarah
Bertanah
Di sini
Erat kupeluk
Hidup dan mati

Yang Terjadi…Terjadilah….Apa pun yang terjadi…..
karya : Lia Meiliani

Teringat akan hari ku yang terasa panjang
Terpojok aku disudut ruang
Teringat ketika dunia adalah taman bermain ku
Dan nyanyian hidup ku suatu dendang
Terabaikan hentangan masa yang telah menunggu
Masa sekolah adalah yang terindah
Menarik dan penuh kegembiraan
Orang tua ku adalah teman terbaik
Karna mereka selalu ada
Menyakinkan aku untuk tidak takut pada apapun
Dunia di luar rumah ku terbatas
Dimana tragedi, duka dan pembunuhan merebak
Terlihat dan ku tatap ….hanya langit biru, bintang dan pelangi
Terabaikan oleh ku akan penghancuran gedung dan mobil
Masa kecil, ku hanya peduli tentang diri
Bahagia, bebas itu yang ku ingin
Tiada air mata menetes, bila terasa nyaman
Dan apapun yang terjadi, di sini aku tetap berada
Ketika dewasa datang, kegelapan menghampiri
Dunia ku yang cerah berubah…
Menjadi beton dan timah
Terlihat kekerasan yang terabaikan oleh ku
Satu persatu teman berguguran dan hati ku hancur
Penyakit mematikan telah merenggut..
Jiwa-jiwa yang tiada mengerti untuk apa mereka dijemput..
Tumpukan sampah menatap ku, bagai polusi di mata
Terkenang saat hidup adalah permainan
Apapun yang terjadi, semua tidak lah sama
Di satu hari aku ingin menangis dan melolong
Pengakuan diri akan kekalahan
Dan berseru aku menyerah !!!
Seketika kepala mengangkat
Langkah maju menyeruak
Tersadar…
banyak yang ku punya untuk diberikan
dan dilakukan.
Bersumpah atas kesulitan hidup
Maju adalah pilihan
Sambil tersenyum ku melangkah
Dan memainkan kartu yang berada digenggaman ku
Ku berikan semampu yang termiliki
Membantu sesama dan mencintai
Apapun yang terjadi, kehidupan akan mekar kembali
Kekuatan yang termiliki akan datang dari atas
Maka kemarilah….
Rentangkan tangan…
Genggam tangan ku…
Dan kita berlayar…..
Menembus kegelapan…
Bersatu padu tak akan runtuh
Kita teringat akan peduli
Dan apapun yang terjadi
Dunia kita kan sembuh

Mereka Yang Berbeda
Perbedaan….
Satu kata tetapi mempunyai arti
Bagi mereka yang berbeda
Perbedaan…
Bila kata itu hadir, ada kalanya menguntungkan
Namun ada akal merugikan
Mereka yang berbeda
Yang tidak selalu mendapat nilai A
Karna nilai selalu lebih baik dari nilai B
Mereka yang berbeda
Mereka yang mempunyai telinga
Yang tampak berbeda dengan lainnya
Dua kali lebih besar dari mereka yang normal,
Dan hidung yang beringus senantiasa
Mereka yang berbeda
Mereka yang diejek bodoh atau gila,
Mereka yang tidak terima
Karena berbeda segalanya
Tampak semakin aneh karena mereka berbeda
Perbedaan…
Mereka yang berbeda
Mereka menyukai kenakalan
Jika mereka dewasa kelak
Sejarah telah menunjuk mereka
Perbedaan itu memang indah…
Karena disanalah adanya keunikan mereka
Mereka yang berbeda
Perbedaan yang mendewasakan
Hubungan di antara mereka yang berbeda


"Kisah Api dan Nasi"
Karya : Sigit Hidayat

I
Dirigen berbaris hampir sehari, tiada putus
Wajah-wajah berharap cemas menunggu giliran
Bau keringat dan minyak tak terelak
“Maaf, minyak tanah habis!”
Cemas makin mengganas
Harap tak kuasa didapat
“Duh Gusti…., dengan apa kumasak berasku?”
“Sedangkan kayu t’lah berubah jadi batu.”

II
Ajaib!, beras berubah emas
Sebab mahal pun langka.
“Maaf, beras habis!”
Beras habis di negeri agraris.
“Apa yang esok kujadikan isi periuk?”

III
Membuat api sesusah membuat nasi

Radio Mataram
Karya : Moh. Husein Arifin

Ketika senja temaram kunyalakan radio mataram.
Iftitah1nya keluar lirik musik berirama kritik, menggelitik telingaku yang dibuatnya seperti studio rekaman tempat pementasan opera untuk disiarkan jadi dialog berita; Ridwan dan teman-temannya belajar menggelar tirai longmarch lewat bunga perdamaian di sepanjang aspal jalanan. Menuntut cabut mata kemunafikan tentang penciptaan penjaga keamanan di katalog kampus pendidikan. Adalah seorang preman kenegaraan.

Di kejauhan rayuan angin jelek sekali. Sontak nafas Ridwan gemuruh jatuh. Seorang preman menembakkan senapan kejantanan ke atap langit sampai lusuh. Kejar-kejaran Ridwan dengan preman begundal, keduanya mengepalkan belati.
Amboi! jari-jari preman aduhai lembut merobek daftar isi jantung dan paru-paru Ridwan. Tamatlah Ridwan di halaman tak beraturan, huruf-huruf ususnya berserakan. Tak berdaya. Teman-temannya berlarian ke paragraf-paragraf lain, mencari perlindungan. Meledak kardus kampus. Terbakar sepatu, baju dan buku-buku. Gang kecil berdarah, gang kecil disulap jadi lautan merah.
--Radio berdeham, lagu kamboja bergelantungan di dada Ridwan senandungnya lirih. Perih seakan sedih--

Kubuat gang-gang di persimpangan sebuah sajadah panjang rimba doa kupanjatkan, di luar kamar beriak-riak gerimis hujan. Ombak kata menderak di leherku. Selain Ridwan, berita lain mengatakan orasi hak asasi di bumi matahari masih menari-nari dan semuanya menjelma peri-peri berloncatan mengelilingi sekat-sekat radio kemudian berpulang ke haribaan usia. Sebab kabel radio terputus kehilangan voltage waktu berirama.

Kulempar radio lewat jendela, antenanya kutancapkan di halaman rumah lalu aku berlari ke gundukan tanah dekat sekolah, cahaya rembulan menyeretku ke tengah. Kulihat Ridwan khusyu’ membasuh mukanya dengan air sembahyang. Melantunkan sebait revolusi sepotong puisi dalam i’tikaf sunyi; diamnya Tan Malaka, berdirinya HAMKA, duduknya Soeharto, senyumnya Prabowo, tuturnya Bung Karno, salamnya menajamkan puing-puing kata yang tak terbilang di daftar menu ensiklopedi sejarah kuno.

Malam segera pasang, malam akan selimuti soreku yang lemah dari suara-suara renggang kepodang lantaran mataku hilang ketika bunga demonstrasi mekar di tengah ilalang. Dan pada kasidah rerumputan kudengar gelombang radio asyik mengisi berita di acara malam tatap muka anak bangsa; preman ataukah mahasiswa manusia termulia?


Faradisha
Karya : Esha Tegar Putra
I

sebelum hujan menata air menjadi kayu menjadi daun
aku telah dulu membaca abjad-abjad di udara
dua nama telah berpaut dalam tunggal tanah
ku tata, ku sulam sumbing perca badan
yang terjilantang luka-luka basah
“faradisha, patahkanlah sekata cinta
setidaknya untuk perkabungan yang dikumandangkan murai”
II
mata-mata kenang meraba
setiap lipatan tahun digenggam
seiring kering butir pasir yang memecah rindu air
o, petualang telah menadah
sebab di perjalanan tak kunjung menemu biji-biji padi
sepanjang pencarian hanya kuduk yang mendenyut
“faradisha. yang menguap biar tak menjadi air
yang memecah biar tak terkatup”

III
kukalungkan zamrud di pergelangan kakimu
garis-garis cakrawala melentur, genting mengeringkan basah tanah
gemericik bandar melebihi rinai yang berkecipak beku
sedang bulan ke bulan terus diawali retak pada sendi


lihatlah, perempuan timur laut menunggu dan terus menunggu
“telah tertancap di punggungku, seulas papan bertuliskan nusantara”
di ujung penungguan
ujung ribuan pulau yang ditaut setali garis purba
perempuan timur laut mengamit:
tubuhku telah ditarik dari ujung ke ujung. palawija, rempah, pala bahkan lada-lada mendada. sumur mendaging, ditimba dan entah telah mengering. sementara cabang-cabang sungai air mata telah melarikan tongkang-tongkang, Oh, tongkang yang mengangkut seisi perut. Lalu hanyut di tubuh yang laut.


CATATAN FEBRUARI
Karya : Esha Tegar Putra

: jika sesaat kau lupa menghitung jejak-jejak yang tinggal
ingatkan sejarah pernah melahirkan kita
untuk kembali mengucap cinta
kusuratkan cinta yang membadai dan pagi masihlah dini

setelah senja menyudahi persuaan kita pada taman
bau bunga bunga terus melumpuhkan ingatan
aku menata kata dengan dada sesak. jantungku berbuih
februari. pada pantai kuucap kegelisahan
tentang rumah, kampung, dan ibu yang menyambung kelahiran
dendang dendang malam dilantunkan

petuah petuah lama memutihkan gerai rambutnya
hingga mendebur ratapannya serupa memajang segaris peristiwa pedih
di mana sepetak sawah tinggal pematang
dan sungai telah membelah tarian ikan ikan

720 jam setelah biduk kita tepikan
pelabuhan menyisakan amis hingga kuduk kita merinding
bertahun tahun orang telah mengungsikan cinta
tetapi kita tetap membaca senja dan menuliskan kerinduan
di tepian pantai barat, berkabung kabung rindu kita lautkan
menghanyutkan kengerian

sesampai pada oktober. dalam derap kita mengunyah luka
aroma kafe menderaikan perjalanan panjang
ingatan pun jatuh pada segelas kopi
saat puluhan ribu orang bersigegas menasbihkan narasi narasi pagi
dan aku, aku membalut destar pada cabikan dada

oh, pada tuhan kukadukan ngiluku yang sayat tersayat
kau lihat, kibaran bendera beku di atas tiang karatan
ribuan orang mulai membanjiri jejalanan umum
sedang aku terus menuliskan kerinduan gila
terus mengenangkan ketakutanku pada cinta
dan peristiwa demi peristiwa terus menikami hari
aku menulis lirih pada puisi
mendendangkan ribuan tangis yang dikeringkan
kelak jika kau menyaksikanku terkapar bersenapan air mata*)
usah ditangisi
(hanya, jika aku terkurung dalam sebuah perjalanan
segelas kopi pagi kan mengingatkanmu pada senja itu)

*) kutipan dari puisi Zulham


Kubur Kaca (II)
Karya : Sayyid Madany Syani

Agustus 1945

di pertengahan musim ini
jiwajiwa berdetak,
surut,
takut.
diorama pagi
mengawal pusaka
dengan ketikan harapan
di hadap kubur paksa
bangsa...


BENDERA DI ATAS MATAHARI
Karya : Soe Marda Paranggana


Nesia, kau tangisi airmata menyiram tanah ini
Beribu tangan terluka menarik cahaya
Sementara masih saja kau ulur tali bendera
berkibar di atas matahari

Dari sabang sampai merauke
Pulau-pulau senyum merekah
Mengulum sunyi tanah di sela bibir doa yang henti
mendongak ke langit mimpi

Dan aku di sini, bibit kelak tumbuh bersemi
Seperti malai-malai padi mengamini
Gerimis darah di tangan mereka
hendak menggapai pohon cahaya

Nesia, berhentilah menangis
Sawah kita merenung lahan sendiri
Ladang dan tanaman kita sedang belajar mandiri
Menumpuk harta karun
selambung cirapan api

Tapi, Nesia, jangan lagi kau sakiti
Mereka belum makan hari ini
Luka lampau sudah kuobati
Perang saudara cukup kau ulangi
Sebab seperti Chairil
Mereka ingin hidup seribu tahun lagi

Nesia, mari kita berjanji
Sekali hidup itu berarti, dalam hati
Tanamlah puisi ini…
Dan pulau-pulau hijau bersemi
Nesia, mari kita turunkan
Bendera di atas matahari!


DIRI
karya : Pinto Anugrah


Kapan kita ke rumah lagi.
Kita bicara lengang lagi dan rencana-
rencana usang yang jadi mimpi selama ini.
Bukalah mulutmu, biar kumasukkan ibu
ke dalamnya. Dan kita mulai bangun kota.
Bukankah hari ini jadi pembicaraan di podium.
Setelah-telah.

Tak usah kau bangunkan abah.
Petang melukis di atas kanvasmu. Adakah yang hendak
kau titip. Rawa telah menunggu untuk dibangun pondasi-
pondasi kecil. Ada yang lelah mengangsur kain.
Setelah cangkul itu patah di tepi pematang. Hanya lindap.
Semau-mau.

Aku hanya ingin pergi.
Di sini tidurku tak lagi lelap. Kuku kakiku
tercabut semalam. Tak ada hias inai,
walau aku hendak menyanyi di penghujung
tahun. Memapah di dinding-dinding rumah.
Ini milikku yang tertinggal.
Seakan-akan.


WARNA YANG INDAH
Karya : R. Mabruri


Bangsa ini menjulang karena warna
Bangsa ini tak mati karena warna
Bukan satu warna, tetapi jutaan warna

Warna-warni yang bertaburan indah
Yang membuat semua merasa nyaman memandang
Yang membuat semua tersenyum tulus
Yang membuat semua terkagum

Berjuta warna yang membuat semua ini indah
Ikatanlah yang membuat lengkap dan utuhnya keindahan ini
Ikatan yang tak akan lekang termakan zaman
Tak akan lapuk oleh usia

Sebab selalu ada generasi baru yang datang
Yang tak melupakan sejarah, namun tak pula terkekang oleh tradisi
Tak mau tergerus oleh peradaban
Tak mau dibatasi oleh penjajah
Bersama jutaan warna yang menghiasinya, bangsa ini berusaha maju
Akhirnya kebanggaan yang ada pada diri kami
Sekali Indonesia, tetap Indonesia


UNGKAPAN HATI
Karya : Widira Fajria

Ibu adalah seorang perempuan
Tapi
Tidak semua perempuan dapat menjadi ibu

Kami berjajar membentuk barisan
Berjuang membela harga diri
Biar mereka mencaci maki
Tapi kami takkan pernah berhenti
Membawa segenggam harapan
Membuka tirai pembaharuan

Perempuan harus berani membela kebenaran

Kami para perempuan menyeru pada dunia
Biar mereka tak mengakui
Tapi kiprah kami sangat berarti

Terima kasih ibuku
Terima kasih perempuan negeri ini



Indonesia X
Tuk: Teman se-nusantara
Karya : Nur Bakhrul Ilmi

Kusampaikan berita duka
Sampai ke ujung negeri ini
Indonesia telah menangis di akhir tahun
Dan membuka lembaran baru di tahun yang akan datang

Matahari sudah di pelupuk mata
Bukan saatnya lagi kita tertidur
Melainkan bergegas di hari esok
Jendela kamarmu telah terbuka lebar

Engkaulah penerus negeri ini
Janganlah menyerah bila badai menghampirimu
Janganlah bersedih
Hapuslah air matamu

Ini adalah awal
Bukanlah akhir
Bencana tidak akan berhenti
Marilah kita merapatkan barisan

Bila kita ingin maju
Melawan kerasnya hidup ini
Kau bukanlah satu-satunya orang
Yang memiliki mimpi buruk

Cobalah kau lihat ke bawah
Masih ada orang yang lebih menderita darimu
Ia hanyalah sampah
Di mata orang tertinggi negara

Meminta pertanggung jawaban
Hanyalah acu yang didapat
Mereka menangis
“bila negeri ini hanyalah orang-orang yang seperti mereka
mau jadi apa negeri ini!”
Hanyalah omong kosong yang terkandung di dalamnya

Mungkin kita telah lupa
Atas nikmat yang telah diberikan oleh-Nya
Hampir seluruh isi dikeluarkan
Apakah bumi ini marah?
Apakah bumi ini menangis?
Apakah kita telah kufur?
Sehingga Tuhan memberikan cobaan ini.


Musibah ini telah meratakan semua ini
Tak ada yang kaya
Tak ada yang miskin
Semua sama dalam penderitaan

Hanyalah menunggu bantuan
Dan cobalah untuk berusaha
Di dunia ini tidak ada yang abadi
Terkadang kita di atas
Terkadang kita di bawah
Pendapatku hanyalah satu
Bersatu dan bersyukur

Kudengar negeri ini akan menjadi lautan
Yang hampa dengan isinya
Ataukah menjadi daratan
Yang tak memiliki alam disekitarnya

Betapa sibuknya malaikat di hari itu
Semua orang menangis
Berteriak merasa kesakitan
Tetapi tidak diperdulikannya

Kita hanyalah manusia
Yang akan kembali semula apa adanya
Badai pasti berlalu
Semua ini pasti akan kembali kepada-Nya

Marilah bergandengan tangan
Saling menjulurkan tangan
Dan merapatkan barisan
Maka semua akan teratasi

Tsunami
Lumpur panas
Angin puting beliung
Gempa
Kan kita lewati bersama
Dan menunggu fajar diesok hari
Yang menyegarkan negeri ini


Hapuslah air matamu
Lupakan kesedihan
Marilah kita bersama
Membangun negeri ini
Menjadi negeri yang indah loh jenawi
Temanku …

Karena Kami Burung
Karya : Sujud Kabisat

Karena kami burung. Kami selalu terbang bersama-sama mengikuti arah mata angin. Mulai daerah kutub bagian paling utara, barat, timur, sampai selatan, kiranya semua sudah pernah kami kunjungi. Kami sering bercumbu rayu melepas lelah—untuk sementara kami singgah sembari istirah mengumpulkan galah. Mendirikan pilar-pilar penyangga. Membangun sebuah bilik kecil dengan hiasan manik-manik jiwa. “Lihatlah saudara, kawasan ini kami namakan sabang merauke” kata saudara kami dari barat. Terus saudara kami dari utara menjulukinya dengan nama sejuta anak pulau. Saudara kami satunya lagi dari selatan memberi nama bhinneka tunggal ika. Kemudian saudara kami yang baru datang dari timur mengasih jabatan dengan titel Raden Mas “Indonesia” gemah ripah loh jinawi.

Karena kami burung. Kamipun selalu terbang bersama-sama menenteng beragam ideologi. Asalkan satu misi dan satu visi, tidak ada bedanya bagi kami. Kami sering terbang bersama-sama dari ranting satu ke ranting yang lain. Hinggap dari suku satu ke suku yang lain. Dari budaya satu ke budaya yang lainnya pula. Dan jujur saja, dengan segala kerendahan hati yang paling dalam kami akui, kadang di antara kami masih kesulitan bisa berkomunikasi dengan gamblang. Lantaran adat istiadat kami berbeda. Agama, lidah, serta warna sayap kamipun juga berbeda. Ada saudara kami yang datang dari pelosok desa hanya telanjang dada mengenakan koteka. Ada juga saudara kami yang berada di kota metropolitan sudah mengenakan model baju dan celana funky ala eropa. Kadang ada perasaan was-was pada diri kami kalau terjadi salah paham. Hanya karena masalah sepele kurang seragam menafsirkan rasa garam.

Karena kami burung. Sukurlah semua permasalahan bisa kami atasi dengan isarat bahasa burung. Sampai pada ahirnya kami semua sepakat. Bahwa kami semua hanya butuh pengayoman. Kami semua hanya butuh kedamaian. Kami semua hanya butuh kebebasan. Itu yang paling penting. Kami semua juga sepakat kalau bahasa nasional yang sekarang kami gunakan adalah bahasa burung. Budaya yang kami gunakan sekarang juga budaya burung. Karena kami semua hamba burung. Kami ingin bebas menabuh genderang sekeras mungkin di sepanjang bayang-bayang pagi, siang sore, dan malam. Kami juga ingin bebas menebarkan taburan wangi kembang ke tempat di mana nantinya kami sekeluarga bisa tidur dan bersemayam dengan tenang. Kami tidak ingin lagi mendengar suara bising dar-der-dor peluru senapan, dentuman bunyi meriam, suara rintihan kesakitan saudara kami yang menderita kelaparan, kecolongan sarang, kehilangan keluarga maupun sanak saudara hanya karena salah sasaran aparat keamanan melesatkan peluru senapan dengan garang. Tanpa memperdulikan arah kicauan teman atau lawan.

Karena kami burung. Hidup kamipun menggantung. Terbang kamipun membumbung. Suara kamipun mendengung. Tapi jangan salah sangka kami tidak punya ideologi. Suara kami jujur dari hati. Tulus tanpa dipaksa. Rela tanpa direkayasa. Karena kami bisa meraba ke mana datang dan perginya warna suara, kami bisa mendengar arah mata angin, membaca gerak-gerik awan—yang tiba-tiba saja timbul tenggelam—datang dan pergi tanpa pamitan. Selama

berpuluh-puluh tahun kami sudah sering terbang membumbung tinggi, hingga menjadikan hidup kami yang penuh misteri dan teka-teki ini lebih terfahami—Bahwasanya tidak ada sesuatu yang lahir dari ketiadaan. Mustahil yang ada lahir dari kehampaan. Dengan kata lain mesti ada sesuatu di balik yang ada. Yakni Tuhan. Dan kesemuanya itu tidak bisa kami pungkiri :Bahwa “Agama ageming ati.”

Karena kami burung. Bagi kami hidup ini sebuah transformasi permenungan dari ritus perjalanan yang sangat panjang. Maka ijinkan kami terbang melanglang setinggi mungkin. Bernyanyi, tertawa, menangis, berteriak, menjerit, berdo’a, dan bersembunyi sampai ke semak belukar pusaran awan. Hingga ahirnya kami semua benar-benar menjelma jadi maha malam. Diam. Tenggelam. Hingga memahami makna hitam. Di cakrawala keheningan paling dalam.

Karena kami burung.


Tuan, Anak Itu Baru Lima Tahun
Karya : Ni Ketut Sudiani

Tuan, anak itu baru lima tahun
Sejak pagi tangannya tak melepas
surat harian minggu itu

Sambil meraba sisa mimpi
Matanya ingin bercerita
Ada wajah yang ia kenal
Bibirnya menghafal sebaris kalimat
Adakah itu tulisan tuhan?
Ia setengah tak percaya

Tuan, anak itu baru lima tahun
Ia hanya mengenal pinokio atau spongebob
Hanya tahu,
Ibunya, malaikat dari negeri peri
Ayahnya, santa klaus
Mengirim mainan tiap malam
Anak itu melamun di bangku kayu
Ayah ibunya menunggu di surat kabar

Sepiring roti kismis
Segelas susu manis
Berdenting dalam mimpi mereka
Di saku,
Ada dua koin
Satu untuk hatinya yang bimbang
Satu untuk jalanan yang panjang

Tuan, anak itu baru lima tahun
Tuhan terlanjur memberinya umur
terlanjur menitip nasib baik pada anda
anak itu minta sedikit
sekadar penghilang sakit

1 komentar:

 

Comments