Senin, 27 Agustus 2012
Hospes dan Nama Penyakit
Hospes
dan Nama Penyakit
Brugia timori hanya terdapat pada manusia. Manusia yang
mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang
rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigran)
lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk
asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih
banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih
nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat. Penyakit yang
disebabkan oleh Brugia timori disebut filariasis timori.
Vektor
dan Epidemiologi
Brugia timori merupakan spesies baru yang ditemukan di
Indonesia sejak 1965, yang ditularkan oleh vektor yaitu Anopheles barbirostris
yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah
pedalaman. Brugia timori hanya terdapat di Indonesia Timur di Pulau Timor,
Flores, Rote, Alor dan beberapa pulau kecil di Nusa Tenggara Timur.
Daur
Hidup dan Morfologi
Cacing dewasa jantan dan betina hidup di saluran dan
pembuluh limfe. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Yang
betina berukuran 21 – 39 mm x 0,1 mm dan yang jantan 13- 23 mm x 0,08 mm.
cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Ukuran mikrofilaria
Brugia timori adalah 280 – 310 mikron x 7 mikron.
Periodisitas mikrofilaria Brugia timori adalah bersifat
periodik nokturna, dimana mikrofilaria ditemukan dalam darah tepi pada malam hari dengan
konsentrasi maksimal pada pukul 22.00 hingga 02.00.
Daur hidup Brugi timori cukup panjang.
Masa pertumbuhannya di dalam nyamuk kurang lebih 10 hari dan pada manusia
kurang lebih 3 bulan. Di dalam tubuh nyamuk, parasit ini juga mengalami dua
kali pergantian kulit, berkembang dari larva stadium I menjadi larva stadium II
dan III.
Patofisiologi
Brugia timori ditularkan oleh An. barbirostris.
Didalam tubuh nyamuk betina, mikrofilaria yang terisap waktu menghisap darah
akan melakukan penetrasi pada dinding lambung dan berkembang dalam otot thorax
hingga menjadi larva filariform infektif, kemudian berpindah ke proboscis. Saat
nyamuk menghisap darah, larva filariform infektif akan ikut terbawa dan masuk
melalui lubang bekas tusukan nyamuk di kulit. Larva infektif tersebut akan
bergerak mengikuti saluran limfa dimana kemudian akan mengalami perubahan
bentuk sebanyak dua kali sebelum menjadi cacing dewasa.
Gejala
Klinis
Stadium akut ditandai dengan serangan
demam dan gejala peradangan saluran dan kelenjar limfe, yang hilang timbul
berulang kali. Limfadenitis biasanya mengenai kelenjar limfe inguinal di satu
sisi dan peradangan ini sering timbul setelah penderita bekerja berat di ladang
atau di sawah. Limfadenitis biasanya berlangsung 2-5 hari dan dapat sembuh
dengan sendirinya. Kadang perandangan limfe ini dapat menjalar ke bawah,
mengenai saluran limfe dan menimbulkan limfangitis retrograd, yang bersifat
khas pada filariasis. Peradangan pada saluran limfe ini dapat terlihat sebagai
garis merah yang menjalar ke bawah dan peradangan ini dapat pula menjalar ke
jaringan sekitarnya, menimbulkan infiltrasi pada seluruh paha atas. Pada
stadium ini tungkai bawah biasanya ikut membengkak dan menimbulkan gejala
limfedema. Limfadenitis biasanya berkembang menjadi bisul, pecah menjadi ulkus.
Ulkus pada pangkal paha ini bila sembuh meninggalkan bekas sebagai jaringan
parut. Dan tanda ini merupakan salah satu
gejala obyektif filariasis limfatik. Limfadenitis dengan gejala komplikasinya dapat
berlangsung beberapa minggu sampai tiga bulan lamanya.
Pada filariasis brugia, sistem limfe
alat kelamin tidak pernah terkena, lambat laun pembengkakan tungkai tidak
menghilang pada saat gejala peradangan sudah sembuh, akhirnya timbullah
elefantiasis. Kecuali kelenjar limfe inguinal, kelenjar limfe lain di bagian
medial tungkai, di ketiak dan di bagian medial lengan juga sering terkena. Pada
filariasis brugia, elefantiasis hanaya mengenai tungkai bawah, di bawah lutut,
atau kadang-kadang lengan bawah di bawah siku. Alat kelamin dan payudara tidak
pernah terkena, kecuali di daerah filariasis brugia yang bersamaan dengan
filariasis bankrofti. Kiluria bukan merupakan gejala klinis filariasis brugia.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala
klinis dan dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria di dalam darah tepi.
1. Diagnosis
parasitologi : sama dengan pada filariasis bankrofti, kecuali sampel berasal
dari darah saja.
2. Radiodiagnosis umumnya tidak dilakukan
pada filariasis malayi.
3. Diagnosis imunologi belum dapat
dilakukan pada filariasis malayi.
Pengobatan
dan Prognosis
Hingga sekarang DEC masih merupakan
obat pilihan. Dosis yang dipake di beberapa negara Asia berbeda-beda. Di
Indonesia dosis yang dianjurkan adalah 5 mg/kg berat badan/hari selama 10 hari.
Efek samping DEC pada pengobatan
filariasis brugia jauh lebih berat, bila dibandingkan dengan yang terdapat pada
pengobatan filariasis bankrofti. Untuk pengobatan masal pemberian dosis
standard dan dosis tunggal tidak dianjurkan. Yang dianjurkan adalah pemberian
dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu) atau garam DEC 0,2
- 0,4 % selama 9 – 12 bulan. Pengobatan dengan iver mektin sama dengan pada
filariasis bankrofti. Untuk mendapatkan hasil penyembuhan yang sempurna,
pengobatan ini perlu diulang beberapa kali. Stadium mikrofilaremia, gejala
peradangan dan limfedema dapat disembuhkan dengan pengobatan DEC. Kadang
elefantiasis dini dan beberapa kasus elefantiasis lanjut dapat diobati dengan
DEC.
Daftar Pustaka
1. Gandahusada,
Srisasi,dkk. 2004. ParasitologiKedokteran. Jakarta : FKUI. Ed III.
2. Gracia, Lyne
S.,Bruckner,David A.. 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Jakarta:EGC
3.
Suryanto, dr.
Sp.PK. 2006. Sistem Hematologi & Limfatika. Yogyakarta : UMY
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar