Senin, 27 Agustus 2012
Epidemiologi HIV/AIDS
Epidemiologi HIV/AIDS
AIDS (Acquired Immunodeficiency
Sindrome) dikenal sejak tahun 1981 pada lima orang pria homoseksual di Los
Angeles, Amerika Serikat (Sepkowitz, 2001). Pada tahun 2000, jumlah orang yang
terinfeksi HIV di dunia diperkirakan 42 juta orang, dimana dua pertiganya
tinggal di Afrika. HIV menginfeksi laki-laki maupun perempuan, tua maupun muda,
bahkan bayi, semua warna kulit dan ras, dan berbagai orientasi seksual. Dari
jumlah tersebut, 20 juta orang telah meninggal akibat AIDS pada Desember 2000,
dan 3 juta diantaranya adalah anak-anak. Di Indonesia, menurut data Departemen
Kesehatan (Depkes), diperkirakan terdapat 90.000 sampai 130.000 orang dengan
HIV positif.
Penyebab AIDS diketahui pada tahun
1983, yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV), suatu Retrovirus
yang termasuk dalam famili Lentivirus. Dua virus HIV yang berbeda secara
genetik namun berhubungan antigennya adalah HIV subtipe 1 (HIV-1) dan HIV
subtipe 2 (HIV-2) yang dapat bereaksi silang pada uji serologik (Mitchell and
Kumar, 2003; Jawetz et al., 1996). AIDS pada dasarnya adalah
kumpulan gejala penyakit yang timbul akibat menurunnya kekebalan tubuh,
disebabkan oleh HIV (Sepkowitz, 2001).
Struktur HIV
Virion HIV berbentuk sferis dan
memiliki inti berbentuk kerucut, dikelilingi oleh selubung lipid yang berasal
dari membran sel hospes. Inti virus mengandung protein kapsid terbesar yaitu
p24, protein nukleokapsid p7/p9, dua kopi RNA genom, dan tiga enzim virus yaitu
protease, reverse transcriptase dan integrase (Gambar 1). Protein
p24 adalah antigen virus yang cepat terdeteksi dan merupakan target antibodi
dalam tes screening HIV. Inti virus dikelilingi oleh matriks protein
dinamakan p17, yang merupakan lapisan dibawah selubung lipid. Sedangkan
selubung lipid virus mengandung dua glikoprotein yang sangat penting dalam
proses infeksi HIV dalam sel yaitu gp120 dan gp41. Genom virus yang berisi gen gag,
pol, dan env yang akan mengkode protein virus. Hasil translasi
berupa protein prekursor yang besar dan harus dipotong oleh protease
menjadi protein mature (Mitchell and Kumar, 2003).
Gambar 1. Struktur HIV (fuad,2012)
Perkembangbiakan HIV
Meskipun
berbagai sel dapat menjadi target dari HIV, ada dua target utama infeksi HIV
yaitu sistem imunitas tubuh dan sistem saraf pusat (Mitchell and Kumar,
2003; Fauci et al., 2001; Cornain dkk., 2001) tetapi virion HIV
cenderung menyerang limfosit T. Jumlah limfosit T penting untuk menentukan
progresivitas penyakit infeksi HIV ke AIDS (McCloskey, 1998; Drew, 2001).
Limfosit T menjadi sasaran utama HIV karena memiliki reseptor CD4+ (sel T
CD4+). yang merupakan pasangan ideal bagi gp120 permukaan (surface glycoprotein
120) pada permukaan luar HIV (enveloped) (Schols, 1996; McCloskey,
1998). Molekul CD4+ merupakan reseptor dengan afinitas tinggi terhadap HIV. Hal
tersebut menjelaskan adanya kecenderungan selektif virus terhadap sel T CD4+
dan sel CD4+ lainnya, yaitu makrofag dan sel dendritik. Selain berikatan dengan
sel CD4+, glikoprotein pada selubung HIV, yaitu gp120 akan berikatan dengan
koreseptor pada permukaan sel untuk memfasilitasi masuknya virus ke dalam sel
tersebut. Dua macam reseptor kemokin pada permukaan sel CD4+, yaitu CCR5 dan
CXCR4 yang dikenal berperan dalam memfasilitasi masuknya HIV. Reseptor CCR5
banyak terdapat pada makrofag dan reseptor CXCR4 banyak terdapat pada sel T.
Selubung HIV gp120 berikatan dengan gp41 akan menempel pada permukaan molekul
CD4+. Pengikatan tersebut akan mengakibatkan perubahan yang menyebabkan
timbulnya daerah pengenalan terhadap gp120 pada CXCR4 dan CCR5. Glikoprotein 41
akan mengalami perubahan yang mendorong masuknya sekuens peptida gp41 ke dalam
membran target yang memfasilitasi fusi virus (Mitchell and Kumar, 2003;
Fauci et al., 2001; Hogan et al., 2001).
Dengan
glikoprotein gp41 transmembran (transmembrane glycoprotein 41), maka
akan terjadi fusi antara permukaan luar dari HIV dengan membran limfosit T
CD4+, sedangkan inti (core) HIV melanjutkan masuk sel sambil membawa enzim
reverse transcriptase (Pavlakis, 1997). Bagian inti HIV yang mengandung RNA
(single stranded RNA) akan berusaha membentuk double stranded DNA
dengan bantuan enzim reverse transciptase yang telah dipersiapkan
tersebut, kemudian dengan bantuan DNA polimerase terbentuklah cDNA atau
proviral DNA. Proses berikutnya adalah upaya masuk ke dalam inti limfosit T
dengan bantuan enzim integrase, maka terjadilah rangkaian proses
integrasi, transkripsi yang dilanjutkan dengan translasi protein virus, serta
replikasi HIV yang berlipat ganda yang nantinya akan meninggalkan inti. Setelah
mengalami modifikasi, saling kemudian berusaha keluar menembus membran limfosit
(budding) dan virion baru yang terbentuk siap menginfeksi limfosit T
CD4+ berikutnya. Sel yang pecah akan mati, demikian proses ini terus
berlangsung sehingga jumlah limfosit T CD4+ cenderung terus menurun dan
perjalanan penyakit cenderung progresif (Drew., 2001)
Perjalanan HIV
Perjalanan
penyakit HIV merupakan perjalanan interaksi HIV dengan sistem imun tubuh.
Terdapat tiga fase yang menunjukkan terjadinya interaksi virus dan hospes yaitu
fase permulaan/akut, fase pertengahan/kronik dan fase terakhir/krisis (Mitchell
and Kumar, 2003). Fase akut menandakan respon imun tubuh yang masih
imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, fase tersebut ditandai oleh
penyakit yang sembuh dengan sendirinya yaitu 3 sampai 6 minggu setelah
terinfeksi HIV. Gejalanya berupa radang tenggorokan, nyeri otot (mialgia),
demam, ruam kulit, dan terkadang radang selaput otak (meningitis asepsis).
Produksi virus yang tinggi menyebabkan viremia (beredarnya virus dalam darah)
dan penyebaran virus ke dalam jaringan limfoid, serta penurunan jumlah sel T
CD4+. Beberapa lama kemudian, respon imun spesifik terhadap HIV muncul sehingga
terjadi serokonversi. Respon imun spesifik terhadap HIV diperantarai oleh sel T
CD8+ (sel T pembunuh, T sitotoksik cell) yang menyebabkan penurunan
jumlah virus dan peningkatan jumlah CD4+ kembali. Walaupun demikian, penurunan
virus dalam plasma tidak disertai dengan berakhirnya replikasi virus. Replikasi
virus terus berlangsung di dalam makrofag jaringan dan CD4+ (Mitchell and
Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Fase kronik
ditandai dengan adanya replikasi virus terus menerus dalam sel T CD4+ yang
berlangsung bertahun-tahun. Pada fase kronik tidak didapatkan kelainan sistem
imun. Setelah bertahun-tahun, sistem imun tubuh mulai melemah, sementara
replikasi virus sudah mencapai puncaknya sehingga perjalanan penyakit masuk ke
fase krisis. Tanpa pengobatan, pasien HIV akan mengalami sindrom AIDS setelah
fase kronik dalam jangka waktu 7 sampai 10 tahun (Mitchell and Kumar,
2003; Saloojee and Violari, 2001).
Fase krisis
ditandai dengan hilangnya kemampuan sistem imun, meningkatnya jumlah virus
dalam darah (viral load) dan gejala klinis yang berarti. Pasien
mengalami demam lebih dari 1 bulan, lemah, penurunan berat badan dan diare
kronis. Hitung sel T CD4+ berkurang sampai dibawah 500/µL. (Mitchell and Kumar,
2003; Saloojee and Violari, 2001).
Diagnosis HIV
Gejala infeksi
HIV disesuaikan dengan fase perjalanan penyakit. Gejala infeksi HIV pada
awalnya sulit dikenali, karena seringkali mirip penyakit ringan sehari-hari
seperti flu dan diare sehingga penderita tampak sehat. Kadang-kadang dalam enam
minggu pertama setelah penularan, timbul gejala tidak khas berupa demam, rasa
letih, sakit sendi, sakit menelan dan pembengkakan kelenjar getah bening di
bawah telinga, ketiak dan selangkangan. Gejala ini biasanya sembuh sendiri dan
sampai 4-5 tahun mungkin tidak muncul gejala. Pada tahun ke-5 atau ke-6, mulai
timbul diare berulang (kronis), penurunan berat badan secara mendadak (>
10%), sering sariawan dan pembengkakan kelenjar getah bening (Mitchell and Kumar,
2003).
Sangat
disarankan memeriksa darah untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dengan
cara Elisa Reaktif sebanyak dua kali. Bila hasilnya positif, diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut dengan Imunofluoresensi Western Blot untuk
memastikan adanya HIV di dalam tubuh. Screening terutama dilakukan pada
orang yang mempunyai perilaku berisiko tinggi, seperti sering berganti-ganti
pasangan seks, pecandu narkoba suntikan, mendapati gejala penyakit yang khas
karena infeksi HIV, menderita penyakit yang memerlukan transfusi darah
terus-menerus seperti hemofilia dan sering berhubungan dengan cairan tubuh
manusia (Mitchell and Kumar, 2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan HIV
Belum ada obat
yang dapat menyembuhkan HIV/AIDS. Ada obat yang dapat memperlambat perkembangan
HIV, dan memperlambat kerusakan pada sistem kekebalan tubuh tetapi belum ada
cara untuk memberantas HIV dari tubuh penderita. (Mitchell and Kumar,
2003; Saloojee and Violari, 2001).
Pengobatan AIDS
bertujuan untuk mempertahankan keadaan sehat tanpa efek samping yang berarti
dalam waktu yang lama. Caranya adalah dengan menekan viral load sehingga
menekan produksi virus dan mengembalikan fungsi sistem imunitas tubuh.
Pengobatan AIDS dengan ARV harus bersifat kombinasi karena adanya resistensi
virus terhadap ARV. Tiga golongan ARV yang dikenal adalah nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI), non nucleoside reverse transcriptase
inhibitor (NNRI), dan protease inhibitor (PI). Kombinasi ARV bisa
berupa 3NRTI, 2NRTI+NNRTI, dan 2NRTI+PI. Pasien AIDS harus menggunakan ARV
terus menerus dan apabila pengobatan ARV berhenti, maka akan terjadi resistensi
dan kegagalan pengobatan (Sepkowitz, 2001; Fauci and Lane, 2001; Thaker and
Snow, 2003).
GB Virus C (GBV-C)
1. Sejarah
Penemuan
Pada tahun
1967, dari seorang ahli bedah dengan inisial G.B. yang menderita hepatitis
akut, (Masuko et al., 1996). Kemudian dapat diisolasi dua virus baru
yang merupakan virus RNA positif strand dan termasuk famili Flaviviridae,
yaitu Virus GB tipe A (GBV-A) dan Virus GB tipe B (GBV-B) (Simons et al.,
19951). Ternyata GBV-A dan GBV-B hanya didapati pada kera tamarin
(Alter et al, 1996). Tahun 1996, ditemukan virus lain yaitu GBV-C pada
penderita hepatitis akut, kronis maupun orang sehat yang tinggal di Amerika
Serikat, Kanada dan Afrika (Leary et al., 1996). GBV-C (Alter et al,
1996). Seperti juga Virus Hepatitis C (VHC), VHG dan GBV-C memiliki persamaan
asam amino dan nukleotida lebih dari 95% dan 85%, sehingga disimpulkan kedua
virus tersebut berasal dari spesies virus yang sama dengan isolat yang
berbeda (Retno et al., 2000).
2. Struktur GBV-C
GBV-C termasuk
famili flaviviridae yang terdiri dari molekul RNA single stranded
dan memiliki kurang lebih 9.500 nukleotida (Sherlock, 1999). Dua puluh lima
persen GBV-C memiliki persamaan asam amino dengan VHC, dan sifat kronisitasnya
cukup menonjol pada infeksi manusia. Pola genom secara keseluruhan mirip dengan
VHC dan flavivirus lain (Di Bisceglie, 1996). Virus ini cukup unik diantara
flafiviridae karena tidak menyandi suatu protein yang menyerupai inti (core
like protein) yaitu protein yang letaknya dekat ujung amino dari
poliprotein virus. Asam amino VHG dan GBV-C memiliki homologi sebanyak 29%
dengan VHC, yang menunjukkan bahwa virus tersebut berbeda dan bukan serotipe
dari VHC. VHG dan GBV-C memiliki homologi asam amino sebanyak 48% dengan GBV-A
dan 28% dengan GBV-B. Dalam pembicaraan selanjutnya VHG dan GBV-C akan disebut
sebagai GBV-C. GBV-C memiliki dua macam protein yaitu 2 protein struktural
(protein E1 dan E2) dan 5 protein nonstruktural (protein NS2, NS3, NS4, NS5A dan
NS5B) (Tillmann et al., 2001) (gambar 4). Protein E2 merupakan protein
utama yang dapat merangsang terbentuknya antigen dalam tubuh.
Gambar 2.
Struktur Genom GBV-C (Tillmann et al., 2001)
1. Prevalensi dan
Jalur Penularan GBV-C
GBV-C dapat
ditularkan melalui darah dan produk darah hubungan seksual dan vertikal dari
ibu ke janinnya. GBV-C juga dapat ditularkan melalui serum yang terinfeksi pada
binatang primata, termasuk tamarin, simpanse dan kera macaca. GBV-C banyak
dideteksi pada pengguna obat-obatan intravena. Prevalensi GBV-C berbeda pada
berbagai populasi. Centers for Disease Control and Prevention telah
menemukan diantara pasien di Amerika Serikat yang didiagnosis hepatitis non-A,
non-B kira-kira 18% positif terdapat RNA GBV-C yang mana sebagian besar pasien
(80%) juga terinfeksi dengan VHC (DiBisceglie, 1996; CDCP, 1996),
Infeksi GBV-C
dapat terjadi pada donor darah sehat (Linnen et al., 19962). Prevalensi
infeksi GBV-C pada donor darah di Surabaya, Indonesia sebesar 2,7%. Sedangkan
prevalensi infeksi GBV-C dan koinfeksi dengan VHC yang terjadi pada penderita
penyakit hati kronis di Surabaya sebesar 8,4% (Retno et al., 2000).
Kelompok resiko
tinggi pada penularan GBV-C adalah pekerja seks komersial (PSK) dan pria
homoseksual. Di Taipei, Taiwan, 21% wanita PSK tanpa riwayat penggunaan
obat-obatan intra vena didapatkan RNA GBV-C yang positif. Seroprevalensi RNA
GBV-C pada pria homoseksual yang positif terinfeksi HIV di Frankfurt, Jerman, adalah
8,5%. Peneliti yang sama menganalisis antibodi terhadap glikoprotein envelope
E2 (E2Ab) dari GBV-C dan menemukan jumlah prevalensi keseluruhan sebesar 31,9%.
Di Spanyol, prevalensi RNA GBV-C telah dilaporkan sebesar 13,4% dan 19%.
Sebesar 51% dari pria homoseksual yang terinfeksi HIV di Skotlandia menunjukkan
positif RNA GBV-C dan 4 dari 17 sampel negatif, dengan PCR menjadi positif
(Wacthler et al., 2000).
2. Diagnosis GBV-C
Diagnosis
spesifik sesuai jenis virus penyebab hanya bisa ditentukan melalui pemeriksaaan
laboratorium (Hardie, 2005). Diagnosis infeksi GBV-C dilakukan dengan
pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) yaitu untuk mendeteksi
adanya RNA virus dalam serum, jaringan atau cairan yang terinfeksi lainnya. PCR
masih merupakan metode unggulan yang tersedia saat ini untuk diagnosis adanya
infeksi GBV-C. Kemungkinan ketidaksesuaian hasil pemeriksaan PCR dengan
prevalensi infeksi GBV-C dapat terjadi pada orang yang telah sembuh dari
infeksi atau pada saat tidak mengandung GBV-C lagi (Di Bisceglie, 1996).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar